Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Peran TKI dalam Penanggulangan Kemiskinan

8 September 2012   23:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:44 2171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gemuruh pembangunan ekonomi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan. Faktual, saat ini jumlah penduduk miskin masih tinggi. Data yang didiseminasi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada Maret 2012, sebanyak 29,13 juta (11,96 persen) penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk jatuh miskin karena kondisi kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin.

Selama ini pemerintah memang telah mengerahkan segenap upaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin secara berarti. Berbagai program penanggulangan kemiskinan berlapis pun telah diluncurkan, yang tentu saja menghabiskan anggaran yang tidak sedikit–mencapai 90 triliun di tahun 2012. Namun sayangnya, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan lambat dan jauh dari harapan.

Karenanya, pemerintah perlu terus bekerja keras, dan upaya penanggulangan kemiskinan hendaknya tidak hanya bertumpu pada berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama ini. Berbagai upaya lain juga perlu dicoba, dan salah satunya adalah pemanfaatan potensi uang yang dikirim oleh para tenaga kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri (remitansi).

Tak terdeteksi

Hingga tahun 2012, jumlah TKI yang bekerja di luar negeri telah mencapai 3.998.592 orang. Tiga negara utama tujuan para TKI adalah Arab Saudi (1.427.928 orang), Malaysia (1.049.325 orang), dan Taiwan (381.588 orang). Ini adalah data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang tentu saja tidak mencakup mereka yang bekerja di luar negeri tanpa melalui jalur resmi alias ilegal. Diketahui, jumlah TKI ilegal cukup besar (khususnya di Malaysia). Hingga saat ini, belum ada data pasti mengenai jumlah mereka. Di Malaysia, misalnya, jumlah TKI ilegal diperkirakan mencapai 2/3 dari total pekerja migran asal Indonesia yang bekerja di negara tersebut (Sukamdi, 2008).

Sayangnya, sebagian besar TKI (71 persen) bekerja di sektor informal. Mudah untuk diduga, sebagian besar mereka adalah pembantu rumah tangga (PRT). Hasil studi yang dilakukan Suhariyanto et al. dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2007 menunjukkan, sekitar 48,8 persen TKI bekerja sebagai PRT. Temuan ini nampaknya bersesuaian dengan fakta bahwasekitar 76 persen TKI adalah perempuan.

Meskipun sebagian besar TKI bekerja di sektor informal, mereka berperan penting bagi perekonomian melalui uang yang mereka kirimkan ke Indonesia. Itulah sebab mereka digelari sebagai “pahlawan devisa”. Hingga saat ini tidak diketahui secara pasti jumlah remitansi yang dikirim oleh para TKI. Sebagai gambaran, pada tahun 2009, jumlahnya diperkirakan mencapai 6,77 miliar dollar AS (BI dan BNP2TKI).

Angka 6,77 miliar dollar AS tersebut dipastikan lebih kecil dari jumlah remitansi sesungguhnya yang diterima dari para TKI. Pasalnya, selama ini belum ada sistem yang memadai terkait penghitungan jumlah remitansi yang diperoleh dari para TKI. Secara sederhana, selama ini remitansi dihitung dari semua residual pada neraca pembayaran (balance of payment).

Selain itu, remitansi dalam jumlah signifikan yang mengalir ke Indonesia masih banyak yang tidak terdeteksi karena dikirim melalui berbagai saluran tidak resmi. Sebagai contoh, Survei Remitansi Nasional yang dilakukan Bank Indonesia mengungkap fakta bahwa di Nunukan, Kalimantan Timur, hanya 30 persen TKI yang mengirimkan uangnya ke tanah air dengan menggunakan saluran resmi atau bank. Sisanya, lebih memilih untuk mengirim uang mereka melalui karabat atau teman yang kembali ke tanah air serta berbagai jalur tak resmi lainnya.

Potensi besar

Umumnya, para TKI berasal dari rumah tangga dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Karena itu, peran remitansi dari para TKI cukup besar bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Hasil studi yang dilakukan oleh Suhariyanto et al. juga menemukan bahwa sebagian besar sumber pendapatan rumah tangga migran, yakni rumah tangga dengan minimal satu anggota rumah tangga bekerja sebagai TKI, berasal dari remitansi. Donasinya mencapai 31,2 persen terhadap total pendapatan yang diterima oleh rumah tangga.

Hasil studi juga menunjukkan, pola pengeluaran (expenditure pattern) rumah tangga migran yang menerima remitansi lebih baik ketimbang rumah tangga migran yang tidak menerima remitansi: porsi pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan barang tahan lama lebih tinggi. Ini merupakan indikasi bahwa kondisi kesejahteraan rumah tangga migran penerima remitansi lebih baik dibanding rumah tangga migran yang tidak menerima remitansi.

Peluang rumah tangga migran penerima remitansi untuk jatuh miskin juga lebih kecil dibanding rumah tangga migran yang tidak menerima remitansi. Selain itu, persentase rumah tangga miskin serta tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan untuk rumah tangga migran penerima remitansi lebih rendah dibanding dengan rumah tangga migran yang tidak menerima remitansi. Hal ini menunjukkan potensi besar remitansiterkait upaya penanggulangan kemiskinan. Karena itu, program dan kebijakan untuk memaksimalkan pemanfaatan remitansi bagi program penanggulangan kemiskinan mutlak diperlukan.

Sejalan dengan hal tersebut, berbagai kebijakan terkait TKI juga harus memperhatikan hal-hal berikut: perekrutan, orientasi, dan pelatihan yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas TKI; perlindungan dari tindak kekerasan di negara tujuan; minimalisasi biaya remitansi; serta pemulangan TKI yang lebih terorganisir dan terintegrasi (jangan sampai TKI diperas oleh oknum yang tidak bertanggungjawab saat pulang ke tanah air). (*)

Referensi: Kecuk Suhariyanto, Guntur Sugiyarto, dan Ahmad Aven Zora. 2012. Global Crisis, Remittance, and Poverty in Asia. Asian Development Bank (ADB).

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun