Hasil Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian tahun 2013 (SPP 2013) yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian rata-rata hanya sebesar Rp12,4 juta per tahun atau Rp1 juta per bulan. Itu artinya, petani bakal sulit merengkuh kesejahteraan bila hanya mengandalkan usaha tani.
Mudah dipahami, rendahnya rata-rata pendapatan dari usaha tani bertalian erat dengan fakta bahwa sebagian besar petani negeri ini merupakan petani tanaman pangan (padi dan palawija) dengan penguasaan lahan yang sempit. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, sebagian besar petani tanaman pangan mengusahakan lahan kurang dari setengah hektare (petani gurem).
Lahan yang sempit mengakibatkan usaha tani tanaman pangan tidak ekonomis, karena efisiensi dan skala ekonomi usaha tani menjadi sulit digapai. Hasil SPP2013 memperlihatkan, rata-rata pendapatan rumah tangga tani tanaman pangan dari usaha pertanian hanya sekitar Rp11 juta per tahun. Hal ini kian diperparah dengan relatif murahnya harga komoditas tanaman pangan bila dibandingkan dengan harga komoditas pertanian yang lain.
Jadi, tak usah heran bila hingga kini kemiskinan tetap berpusat di sektor pertanian—utamanya subsektor tanaman pangan. Faktanya, sekitar 49 persen penduduk miskin bekerja di pertanian. Karena itu, kunci utama keberhasilan penanggulangan kemiskinan di negeri ini adalah peningkatan daya beli dan pendapatan petani secara berarti.
Pertanyaannya, bagaimana cara menggenjot pendapatan para petani kita? Berdasarkan hasil SPP2013, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan. Pertama, untuk usaha pertanian berbasis lahan (tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura), hal ini dapat diupayakan dengan menggenjot kepasitas petani dalam berproduksi dengan cara meningkatkan rata-rata luas lahan pertanian (faktor produksi) yang dikelola oleh setiap petani.
Kedua, kegiatan usaha tani harus didorong ke subsektor atraktif yang lebih ekonomis dan berorientasi ekspor seperti subsektor perkebunan, peternakan, perikanan, dan hortikultura. Tentu, hal ini dilakukan tanpa mengabaikan dan mengorbankan peran penting subsektor tanaman pangan. Karena itu, pada saat yang sama, pemerintah harus memberi insentif kepada petani tanaman pangan. Insentif tersebut dapat berupa subsidi input (pupuk, benih, dan sarana produksi) atau jaminan harga terhadap hasil produksi petani.
Ketiga, aktivitas ekonomi di luar usaha tani (off-farm)—seperti usaha kecil menengah, perdagangan, dan jasa lainnya—di daerah pedesaan harus didorong. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan diversifikasi sumber pendapatan bagi petani, khususnya petani tanaman pangan. Dengan demikian, mereka tidak hanya bertumpu pada kegiatan usaha tani (on-farm).
Hasil SPP 2013 menunjukkan, pendapatan dari usaha di sektor pertanian hanya mencakup 46,7 persen dari total pendapatan rumah tangga pertanian, yang rata-rata sebesar Rp26,6 juta per tahun atau Rp2,2 juta per bulan. Sebanyak 53,3 persen sisanya disumbang oleh pendapatan yang bersumber dari kegiatan selain usaha di sektor pertanian. Hal ini menunjukkan pentingnya peran aktivitas ekonomi di luar usaha tani dalam menopang kehidupan petani. (*)
Kadir, bekerja di Badan Pusat Statistik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H