Buku "Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035” telah diluncurkan oleh Presiden SBY di Istana Negara beberapa waktu lalu (29 Januari 2014). Hasil proyeksi menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 bakal mencapai 305,6 juta jiwa. Pertanyaannya, apakah negeri ini mampu mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduk sebanyak itu?
Dalam konteks Indonesia, beras adalah komoditas pangan utama. Konsumsi beras nasional saat ini mencapai 139 kilogram per kapita per tahun. Itu artinya, bila angka konsumsi beras tidak bisa ditekan, kebutuhan beras nasional pada tahun 2035 bakal mencapai 43 juta ton atau setara dengan 76 juta ton gabah dalam kualitas gabah kering giling (GKG). Pertanyaannya, mampukah kita menyediakan beras sebanyak itu tanpa harus mengimpor dari luar negeri (swasembada), di tengah daya dukung sektor pertanian yang dari hari ke hari terus menurun?
Tak bisa dimungkiri, selama ini kebijakan pertanian kita terlalu berorientasi pada peningkatan produksi padi/beras. Akibatnya, Indonesia sangat bergantung pada komoditas ini sebagai bahan pangan utama. Padahal, potensi komoditas pangan lain seperti jagung dan umbi-umbian sebagai alternatif pengganti beras sangat besar untuk dikembangkan. Orientasi yang keliru ini sebetulnya warisan orde baru, namun tetap dipertahankan hingga kini.
Buah dari kebijakan pertanian yang bias ini tercermin dari statistik produksi tanaman pangan (padi dan palawija) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 3 Maret 2014. BPS melaporkan, produksi padi pada tahun 2013 mencapai 71,3 juta ton gabah kering giling atau naik sebesar 2,24 juta ton (3,24 persen) dibanding tahun 2012. Sayangnya, di tengah moncernya kinerja produksi padi pada tahun lalu, produksi komoditas palawija seperti jagung, kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar justru mengalami penurunan yang cukup tajam.
Produksi jagung dan kedelai, misalnya, masing-masing turun sebesar 0,88 juta (4,54 persen) dan63 ribu ton (7,47 persen). Konsekuensinya, swasembada kedua komoditas ini, yang ditargetkan bakal tercapai pada tahun ini, bakal jauh panggang dari api. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, impor jagung dan kedelai kemungkinan besar bakal lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Nampaknya, statistik produksi tanaman pangan yang dirilis BPS ini mengkonfirmasi bahwa pada tahun lalu energi pemerintah habis tersedot untuk menggenjot produksi padi. Maklum, saja, pada tahun ini, salah satu target ambisius pemerintah di bidang pangan, yakni surplus beras 10 juta ton bakal dibuktikan, tercapai atau tidak.
Bila dirunut ke belakang, data statistik menunjukkan produksi padi nasional dalam dua puluh tahun terakhir hanya meningkat sebesar 23 juta ton atau tumbuh sekitar 2 persen per tahun. Sementara itu,jumlah penduduk telah bertambah nyaris 70 juta jiwa. Jadi, tidak mengherankan bila dalam dua pulah tahun terakhir Indonesia lebih sering menjadi net importer beras ketimbang net exporter karena kebutuhan beras yang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
Kinerja produksi sangat ditentukan oleh dua hal: produktivitas dan luas lahan. Meski menunjukkan tren peningkatan dalam dua puluh tahun terakhir, produktivitas padi cenderung melandai. Sementara itu, perkembangan luas lahan sawah sedikit mengkhawatirkan. Betapa tidak, dalam dua puluh tahun terakhir, luas lahan sawah telah berkurang sekitar dua juta hektar. Karena itu, derasnya laju konversi lahan sawah dalam beberapa tahun terakhir harus menjadi perhatian pemerintah.
Tak bisa dihindari, peningkatan jumlah penduduk akan selalu dibarengi dengan peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman, fasilitas publik, dan berbagai aktivitas ekonomi lainnya. Sayangnya, selama ini kebutuhan akan lahan itu dipenuhi dengan mengkonversi lahan-lahan sawah produktif ke penggunaan non-pertanian seperti yang terjadi secara masif di Pulau Jawa.
Hal ini tentu merupakan ancaman bagi keberlanjutan produksi padi/beras nasional. Jika kondisi ini terus berlanjut, bisa dibayangkan bagaimana negeri ini bakal mencukupi kebutuhan pangan, khususnya beras, bagi 300 juta lebih penduduknya? Karena itu, tidak ada jalan lain bagi pemerintah, produksi beras nasional harus digenjot sedemikian rupa dengan meningkatkan produktivitas dan mencetak sawah-sawah baru, serta mempertahankan sawah-sawah produktif yang masih ada. (*)
Penulis bekerja di BPS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H