Lahan pertanian adalah modal yang sangat penting dalam menggenjot produksi pangan. Tanpa perluasan lahan—yang lazim disebut ekstensifikasi—upaya peningkatan produksi pangan hanya bertumpu pada inovasi teknologi atau peningkatan produktivitas (intensifikasi).
Bila hanya bertumpu pada peningkatan produktivitas, pada titik tertentu, produksi pangan bakal tak mampu memenuhi permintaan terhadap pangan yang terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
Karena itu, meski perekonomiannya ditopong oleh sektor industri dan jasa atau bukan sektor pertanian, tak satu pun negera-negara maju di dunia ini yang mengabaikan perluasan lahan pertaniannya.
Australia, negara tetangga yang suka “menyadap karet” itu, misalnya, kini memiliki lahan pertanian seluas 50 juta hektar. Padahal, jumlah penduduknya hanya 19 juta jiwa. Artinya, setiap orang Australia menguasai lahan pertanian seluas 2,63 hektar.
Belakangan ini bahkan ada tren baru dalam soal ketahanan pangan. Negara-negara kaya yang tak memiliki lahan pertanian yang cukup memilih untuk menyewa atau membeli lahan pertanian di negara lain.
Arab Saudi, negara gurun namun kaya minyak, misalnya, kini telah membeli lahan pertanian di sejumlah negara, seperti Sudan, Pakistan, Ethiophia, Philiphina, Kazakhtan, Thailand dan Tanzania untuk mengamankan ketahanan pangannya.
Organisasi Pangan Dunia (FAO) bahkan menyebutkan, dalam 5 tahun terakhir ada 2,5 juta hektar lahan pertanian di lima negara sub sahara yang telah dibeli atau disewa dalam jangka panjang.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dalam sepuluh tahun terakhir, luas lahan pertanian di Indonesia tak banyak berubah, masih sekitar 25 juta hektar. Padahal, jumlah penduduk terus bertambah dan kebutuhan pangan terus meningkat.
Kini, rasio lahan pertanian terhadap jumlah penduduk hanya sebesar 0,1. Itu artinya, setiap orang Indonesia rata-rata hanya menguasai lahan pertanian seluas 0,1 hektar. Sangat jauh bila dibandingkan dengan Australia. Padahal, negeri ini wilayah daratannya amat luas, mencapai 188 juta hektar dan hampir seluruhnya bisa fungsikan sebagai lahan pertanian.
Tidak membikin heran bila kemudian jumlah petani gurem, yakni petani yang menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar, di negeri ini bukan main banyaknya. Pada tahun 2009, misalnya, sekitar 65 persen rumah tangga usaha tani padi mengusahakan sawah dengan luas kurang dari 0,5 hektar.
Itulah sebabnya, kemiskinan tak pernah beranjak dari sektor pertanian. Bagaimana mungkin petani bisa sejahtera bila hanya mengusahakan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar.
Yang ada adalah pemiskinan petani. Kerena pendapatan dari usaha tani tak lagi mencukupi untuk menyambung hidup, banyak petani yang memilih untuk menjual lahannya kemudian menjadi buruh tani. Sebagian lagi memilih merantau ke kota dan bergulat di sektor informal. Ujung-ujungnya mereka tetap miskin.
Celakanya, konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian terus mengancam. Seolah tak bisa direm. Padahal, aturan perundangannya sudah ada, tinggal dilaksnakan. Di Pulau Jawa, misalnya, setiap tahun ribuan hektar sawah produktif dikonversi menjadi pabrik, kawasan industri, pemukiman, real estate, bahkan lapangan golf.
Padahal, lahan-lahan pertanian di Jawa suburnya bukan main. Tongkat kayu pun bisa jadi tanaman. Salah tempat ketika “buang air” pun bisa tumbuh tanaman.
Barangkali, inilah yang menjadi penyebab kenapa Indonesia kini menjadi salah satu negara importir produk pangan terbesar di dunia. Semuanya karena sektor pertanian yang tidak diurus dengan benar dan luas lahan pertanian yang begitu-begitu saja. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H