Pada Oktober tahun ini, ada dua survei yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kepuasaan publik terhadap kinerja Pemerintahan SBY, yakni survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 5-10 Oktober, dan survei yang dilakukan Jaringan Suara Indonesia (JSI) pada 10-15 Oktober.
Yang menarik buat saya adalah bahwa hasil temuan kedua survei tersebut ternyata berbeda. Hasil survei LSI−dirilis 16 Oktober− menunjukkan hanya sebanyak46,2 persen publik yang puas terhadap kinerja Pemerintahan SBY, atau dengan lain perkataan mayoritas publik tidak puas terhadap kinerja SBY. Sedangkan, hasil survei yang dilakukan JSI –dirilis 23 Oktober−menunjukkan temuan sebaliknya, yakni sebanyak 53,2 persen publik ternyata puas terhadap kinerja SBY, atau dengan kata lain mayoritas publik puas terhadap kinerja SBY.
Temuan dua hasil survei yang berbeda ini tentu akan membingungkan publik, karena idealnya hasil kedua survei tersebut tidak berbeda.
Mana yang benar?
Dalam pandangan saya, sebagai seorang statistisi (BPS) yang tahu betul bagaimana seharusnya sampel dicuplik untuk merepresentasikan populasi, kedua hasil survei tersebut seharusnya tidak berbeda, jika metodologi pelaksanaannya benar-benar didasarkan pada kaidah ilmu penarikan sampel berpeluang (probability sampling method) yang benar dan tepat. Dengan lain perkataan, dari ‘kaca mata’ ilmu penarikan sampel, salah satu dari hasil survei tersebut dipastiakn tidak tepat alias keliru.
Alasannya, dari segi referensiwaktu, kedua survei tersebut boleh dibilang memotret gambarann kepuasaan publik yang sama, yakni kondisi 5-15 Oktober. Dalam kurun waktu ini, saya kira persepsi publik terhadap kinerja SBY cenderung persisten. Apalagi, jumlah responden yang diobservasi dalam kedua survei ini sama, yakni 1.200 orang−jumlah sampel yang digunakan akan sangat mempengaruhi dan berbanding terbalik dengan kesalahan penarikan sampel (sampling error). Begitupula dengan cakupannya (coverage), yakni 33 provinsi di Indonesia.
Angka sebesar 46,2 persen dan 53,2 persen tentu berbeda nyata secara statistik, karena umumnya margin error yang digunakan dalam setiap survei kurang dari satu persen. Bahkan, dengan margin error sebesar tiga persen pun−poor−selang atau interval hasil kedua survei tidak akan saling beririsan. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, keduanya jelas-jelas berbeda.
Terus kenapa hasilnya berbeda? Terlepas dari ada tidaknya kepentingan politik pada masing-masing survei, dari sisi ilmu penarikan sampel, sejumlah hal berikut akan sangat menentukan munculnya perbedaan pada hasil kedua survei: pendefenisian populasi (publik/masyarakat), kelengkapan kerangka sampel (sample frame) yang digunakan, ketepatan rancangan dan teknik penarikan sampel berpeluang yang digunakan, serta kesalahan-kesalahan lain diluar pencuplikan sampel (non sampling error).
Penjelasan secara rinci dan transparan mengenai hal-hal di atas akan sangat membantu ketika membandingakan hasil kedua survei, serta menentukan mana di antara keduanya yang paling tepat dalam menggambarkan karakteristik populasi, yang dalam hal ini adalah kepuasaan publik terhadap kinerja SBY. Dan terkait hal ini, setahu saya LSI lebih meyakinkan.
Sebagai seorang statistisi, saya amat berharap baik LSI maupun JSI benar-benar mendasarkan surveinya pada kaidah-kaidah ilmu statistik dan ilmu penarikan sampel berpeluang. Kalaupun terjadi perbedaan, semoga hal itu lebih disebabkan oleh non sampling error (operasional di lapangan), bukan karena adanya kepentingan politik. Don’t lie with statistics.
****
Data-data Kompas.Com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H