Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money

Harga Beras Terus Melambung di Hari Pangan

16 Oktober 2011   15:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:53 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Hingga kini, peran beras sebagai pangan utama penduduk Indonesia belum tergantikan.Sekitar 85 persen pemenuhan karbohidrat penduduk Indonesia berasal dari beras.

Ini merupakan buah dari “berasisasi“ yang telah berlangsung selama puluhan tahun, khususnya pada masa orde baru. Upaya penyeragaman sumber pangan menjadi beras telah menggesar peran sejumlah komoditas sumber pangan lokal di sejumlah daerah, dan menjadikan negara ini begitu bergantung pada beras. “Bukan makan namanya, kalau tanpa nasi−yang ditanak dari beras adalah ungkapan yang menggambarkan betapa bergantungnya penduduk negeri ini terhadap beras dalam hal pemenuhan pangan.

Kendati menunjukkan tren yang terus menurun selama beberapa tahun terakhir, angka konsumsi beras penduduk Indonesia masih sangat tinggi, bahkan yang tertinggi di dunia, karena hingga kini masih mencapai 113,48 kg/kapita/tahun. Program diversivikasi pangan nampaknya belum menunjukkan kemajuan yang berarti dalam mengurangi konsumsi beras.

Tingginya konsumsi beras menjadikan ketersedian stok beras dalam negeri yang mencukupi adalah sebuah keharusan untuk menjamin stabilitas harga beras di pasaran. Jika beras langka, maka dapat dipastikan harganya akan meroket. Kalau sudah seperti ini, situasinya bisa gawat. Karena dapat memacu inflasi dan memukul telak daya beli penduduk miskin─jumlah orang miskin kemungkinan besar akan naik, karena sebagain besar pendapatn mereka dialokasikan untuk membeli beras. Dan perlu diketahui, sebagian besar petani kita─yang juga miskin─adalah net consumer. Meskipun penghasil beras, mereka juga membeli beras dengan harga pasar untuk konsumsi sehari-hari.

Harga Beras Terus Melambung

Sejak Juli lalu hingga hari iniHari Pangan Dunia−harga beras terus merangkak naik dan kian melambung. Tren kenaikan harga ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga menjelang panen raya pada musim rendang tahun depan−Maret-April. Sejumlah kalangan memprediksi harga beras bisa menembus Rp 9.500 per kilogram pada Februari tahun depan. Karenanya, pemerintah harus segera mengantisipasi gejolak harga beras. Dan tampaknya, impor beras merupakan satu-satunya solusi untuk meredam gejolak harga. Produksi beras dalam negeri untuk saat ini tidak bisa diandalakan, karena gagal panen (puso) telah terjadi secara masif di sejumlah daerah sentra produksi beras nasional.

Total beras impor yang telah dimasukkan Bulog tahun ini mencapai 1,5 juta ton. Angka ini merupakan hasil penjumlahan 700 ribu ton beras yang telah dipesan tahun 2010 lalu dan 800 ribu ton beras asal Thailand dan Vietnam yang masuk tahun ini.Impor sebanyak 1,5 juta ton beras ini telah menguras devisa yang tidak sedikit, diperkirakan sekitar 7 triliun hingga 9 triliun rupiah. Nominal yang sudah barang tentu cukup besar, dan pastinya akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk kepentingan lain seperti berbagai program jaring-jaring pengaman sosial (social savety nets) untuk pengentasan kemiskinan.

Beras sebanyak 1,5 juta ton tersebut nampaknya belum cukup untuk mengamankan cadangan beras nasional. Karenanya, Bulog kembali akan mengimpor beras dalam waktu dekat. Stok beras yang aman bagi Bulog untuk menjamin stabilitas harga beras di pasaran untuk tahun ini idealnya mencapai 3,5 juta ton.

Swasembada Kunci Stabilisasi Harga

Kunci utama stabilisasi harga beras adalah suplai yang melimpah. Dan kondisi ini bisa terwujud jika swasembada beras dapat tercapai. Mengandalkan impor untuk menjamin ketersedian suplai beras adalah keputusan yang tidak tepat. Selain menguras devisa, saat ini ada kecenderungan kalau negara-negara eksportir beras seperti Thailand dan Vietnam mulai menahan beras mereka untuk dilepas ke pasaran, karena ancaman krisis pangan global yang kian nyata. Dengan lain perkataan, di masa-masa yang akan datang beras impor akan semakin sulit didapatkan. Oleh sebab itu, kita berharap semoga surplus 10 juta ton beras yang ditargetkan pemerintah pada tahun 2014-2015 bisa menjadi kenyataan.

Indonesia sebenarnya pernah beberapa kali mencatat sejarah manis dalam hal perberasan. Sejak dekade 80 an hingga kini, Indonesia telah tiga kali mengalami swasembada beras−tidak melakukan impor beras. Catatan manis sejarah perberasan Indonesia sepanjang periode ini dimulaipada tahun 1985. Keberhasilan tersebut kian lengkap, ketika Presiden Soeharto menerima penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Roma, Italia. Sayangnya, momen manis itu tidak berlangsung lama. Selang setahun kemudian. Indonesia kembali menjadi negara importir beras untuk sekian tahun lamanya. Swasembada beras baru terulang kembali pada tahun 2003. Dan terakhir tahun 2008 lalu.

Tahun ini, BPS memperkirakan produksi padi nasional sebesar 68,06 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 39 juta ton beras jika menggunakan angka konversi−GKG menjadi beras−sebesar 0.57. Itu artinya, produksi beras nasional surplus sekitar 6 juta ton, karena kebutuhan beras nasional hanya sebesar 33 juta ton, dengan asumsi angka konsumsi beras sekitar 240 juta penduduk Indonesia saat ini sebesar 139,15 kg beras/kapita/tahun. Jika angka konsumsi beras yang digunakan adalah 113,48 kg/kapita/tahun seperti yang baru dirilis oleh BPS, maka surplus beras tahun ini tentu akan lebih tinggi lagi, yakni mencapai 10,2 juta ton.

Namun sayangnya,meskipun data statistik menunjukkan produksi beras nasional surplus. Tahun ini, Indonesia kembali harus mengimpor beras. Harga beras yang terus merangkak naik sejak Juli lalu merupakan indikasi kuat langkanya beras di pasaran. Ini juga merupakan bukti bahwa data-data produksi dan konsumsi beras yang ada selama ini belum bisa dijadikan pijakan kokoh bagi kebijakan perberasan nasional, sehingga masih perlu dilakukan koreksi dan perbaikan terkait akurasinya.

Tantangan Kian Berat

Masih tingginya angka konsumsi beras juga merupakan soal yang amat serius jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara kelima dengan laju pertumbuhan penduduk terpesat di dunia. Selama sepuluh tahun terakhir, secara rata-rata, jumlah penduduk Indonesia bertambah sekitar 4 juta orang setiap tahunnya, setara dengan jumlah penduduk Singapura saat ini. Padahal sejak berabad lalu, Malthus telah mengingatkan kalau pertambahan produksi pangan yang tumbuh menurut deret hitung bakal sulit mengimbangi pertambahan jumlah penduduk yang tumbuh menurut deret ukur.

Memenuhi kebutuhan pangan−beras−sekitar 240 juta penduduk dengan laju pertumbuhan yang pesat tentu bukanlah perkara yang mudah di tengah berbagai tantangan yang ada dewasa ini. Salah satu tantangan itu adalah kenyataan laju konversi lahan sawah untuk kegunaan lain yang telah mencapai 100 ribu hektar per tahun. Padahal, setiap tahunnya pemerintah hanya mampu mencetak tambahan sawah baru tidak lebih dari 50 ribu hektar.

Idealnya, setiap tahunnya pemerintah harus mencetak sekitar 200 ribu hektar sawah baru untuk meningkatkan produksi beras yang mampu mengimbangi pesatnya laju pertambuhan penduduk. Peningkatan produksi secara besar-besaran dengan menggenjot produktivatasproduksi per hektar−kian sulit dilakukan dewasa ini. Sejak tahun 1996 hingga kini, pertumbuhan produktivitas secara rata-rata kurang dari 1 persen.

Belum lagi jika ditambah berbagai persoalan lain, seperti iklim yang tak lagi menentu dan sulit ditebak, ketidakpastian pasokan air, lahan yang semakin tidak subur, serangan hama penyakit yang kian merajalela, dan sumber daya yang tidak lagi mendukung karena semakin sedikit pemuda yang mau menjadi petani. Tantangan pemenuhan kebutuhan beras menjadi kian berat. Dan ini merupakan ancaman nyata terhadap ketahanan pangan nasional.

*******



Dari berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun