Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dampak Moratorium PNS

31 Oktober 2014   02:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:06 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14153138581885003939

Pemerintah Jokowi-JK mewacanakan bakal melakukan moratorium penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) selama lima tahun mendatang. Jika direalisasi, hal tersebut dipastikan bakal berdampak terhadap kondisi ketenagekerjaan di tanah air.

Sedikitnya ada dua dampak yang bakal ditimbulkan jika moratorium penerimaan PNS jadi diterapkan. Pertama, jumlah penganggur akademik, yakni mereka yang menganggur dengan kualifikasi pendidikan tertinggi yang ditamatkan minimal diploma, kemungkinan bakal meningkat. Padahal saat ini saja jumlah penganggur akademik boleh dibilang cukup tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Februari 2014 jumlah penganggur akademik mencapai 8,3 persen dari total penganggur yang mencapai 7,15 juta orang.

[caption id="attachment_372747" align="alignnone" width="794" caption="Diolah dari data BPS"][/caption]

Tambahan jumlah penganggur akademik akan lebih besar jika moratorium di sini dimaknai sebagai “tidak ada penerimaan sama sekali”. Pun jika moratorium yang dimaksudkan oleh pemerintah adalah zero growth (jumlah yang pensiun sama dengan jumlah penerimaan baru) dampak peningkatan jumlah penganggur akademik kemungkinan besar akan tetap terjadi.

Tak bisa ditampik, profesi PNS masih menjadi tumpuan bagi banyak angkatan kerja lulusan pendidikan tinggi. Hal ini tercermin dari membludaknya jumlah peminat ketika ada penerimaan PNS. Putri Presiden Jokowi pun konon ikut test PNS. Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah pendaftar calon pegawai negeri sipil pada tahun ini nyaris menyentuh angka 1,5 juta orang.

Bagi mereka yang hidup di daerah yang memiliki banyak pilihan pekerjaan di sektor formal—selain menjadi PNS—seperti di Jakarta, dampak moratorium mungkin bakal tidak terlalu terasa. Tapi di daerah lain, yang tidak banyak memiliki pilihan kesempatan kerja di sektor formal, dampak moratorium bakal sangat terasa. Tak bisa dipungkuri, di banyak tempat di negeri ini, mindset sebagian besar orang adalah kuliah untuk menjadi PNS.

Kedua, jumlah pekerja di sektor informal—yang saat ini mencakup sekitar 60 persen dari total jumlah penduduk bekerja—juga bakal meningkat. Secara alamiah, setiap orang akan melakukan apa saja untuk memperoleh pendapatan agar bisa bertahan hidup. Meskipun ia harus menggeluti pekerjaan yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang dimiliki. Hal serupa juga bakal terjadi pada angkatan kerja lulusan pendidikan tinggi. Jika pekerjaan sebagai—orang kantoran –di sektor formal tak bisa direngkuh, mereka terpaksa akan terjun ke sektor informal, seperti menjadi pedagang kaki lima, penjual bakso, dan tukang ojek.

Meski bekerja, mereka sejatinya masih bisa disebut menganggur karena menggeluti pekerjaan yang tidak sesuai atau di bawah tingkat pendidikan/kapabilitas yang mereka miliki. Dalam istilah ketenagakerjaan mereka disebut pengangguran terselubung (disguised unemployment). Selain itu, pekerjaan di sektor informal identik dengan kemiskinan, pendapatan yang rendah dan tak menentu, serta ketiadaan jaminan perlindungan kerja.

Karena itu, dengan mempertimbangkan dua kemungkinan dampak tersebut, pemerintah harus bijak dan berpikir masak-masak ketika hendak memutuskan apakah bakal menerapkan moratorium PNS atau tidak. Dan sebagai solusi jangka panjang, pemerintah harus mengupayakan penciptaan lapangan pekerjaan sebanyak mungkin di sektor formal—tentu saja dengan menggenjot investasi—dan menggalakkan kewirausahaan. Dengan demikian, para lulusan pendidikan tinggi tidak hanya mengandalkan profesi PNS dalam mencari pekerjaan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun