Kenaikan harga-harga barang dan jasa sepanjang tahun 2013 cukup tinggi. Hal ini tercermin dari tingginya angka inflasi tahun 2013 (year-on-year menurut bahasa para ekonom) yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (2 Januari). BPS mencatat, inflasi pada tahun lalu mencapai 8,38 persen. Kinerja Bank Indonesia (BI)—lembaga yang dianggap bertanggungjawab untuk mengendalikan inflasi— pun dipertanyakan.
Di tengah kondisi sektor moneter yang kurang baik, yakni nilai tukar rupiah yang anjlok dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang tertekan, inflasi yang tinggi tentu sangat merisaukan. Potensi krisis dan kondisi perekonomian yang memburuk bisa menghadang sewaktu-waktu.
Seperti telah disebutkan di pelbagai media, pemicu tingginya inflasi pada tahun 2013 adalah kenaikan harga-harga bahan makanan (inflasi kelompok bahan makanan). Dan, inflasi kelompok bahan makanan pada tahun 2013 didorong oleh kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada bulan Juni tahun lalu. BPS mencatat, inflasi bulanan tertinggi sepanjang tahun 2013 terjadi pada bulan Juni (1,03 persen), Juli (3,29 persen), dan Agustus (1,12 persen). Efek kenaikan harga BBM terhadap inflasi mulai mereda pada bulan September. Pada bulan ini terjadi deflasi sebesar -0,35 persen.
Dampak kenaikan harga LPG
Belakangan ini, keputusan Pertamina menaikan harga LPG untuk tabung ukuran 12 kg telah menuai protes luas dari publik. Keputusan ini ditengarai bakal memberikan dampak ekonomi terhadap kehidupan masyarakat, khususnya rumah tangga yang menggunakan LPG jenis ini untuk kegiatan memasak sehari-hari.
Pertanyaannya, seberapa besar dampak ekonomi yang bakal ditimbulkan oleh kenaikan harga LPG ini, khususnya terhadap inflasi? Apakah dampak yang ditimbulkan bakal seperti dampak kenaikan harga BBM pada bulan Juni tahun lalu?
[caption id="attachment_314030" align="aligncenter" width="607" caption="Sumber: hasil Survei Biaya Hidup tahun 2007"][/caption]
Dalam perhitungan inflasi, LPG termasuk dalam komoditas bahan bakar rumah tangga. Berdasarkan hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 2007, bobot komoditas ini dalam perhitungan inflasi sebesar 2,16 persen. Maknanya, bila harga komoditas bahan bakar rumah tangga mengalami kenaikan sebesar 100 persen dan harga komoditas-komoditas lain tidak mengalami kenaikan (citeris paribus), maka bakal terjadi inflasi sebesar 2,16 persen. Itu artinya, pengaruh kenaikan harga komoditas ini terhadap pergerakan angka inflasi cukup besar.
Namun patut diperhatikan, komoditas bahan bakar rumah tangga bukan hanya LPG, juga ada minyak tanah yang digunakan oleh sebagian besar rumah tangga di kawasan timur Indonesia. Tapi, bukankah sebagian besar rumah tangga di Indonesia (nyaris 90 persen) menggunakan LPG untuk memasak?
Memang betul demikian, akan tetapi sebagian besar LPG yang digunakan rumah tangga di Indonesia (ditaksir hampir 50 juta) adalah LPG tabung ukuran 3 kg yang harganya diatur dan disubsidi oleh pemerintah. Sementara, rumah tangga yang menggunakn LPG tabung ukuran 12 kg proporsinya boleh dibilang relatif kecil.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dampak kenaikan harga LPG tabung  12 kg sebesar 50 persen terhadap inflasi relatif kecil. Dampak ekonominya juga tidak perlu dirisaukan secara berlebihan. Kerena penggunanya sebagian besar berasal dari kalangan mampu.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H