Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

BPS, Alat Pencitraan Pemerintah?

26 September 2011   11:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:36 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai badan yang diamanahi tugas merekam jejak sejarah pembangunan bangsa dengan data, Badan Pusat Statistik (BPS) secara konsiten menyediakan data-data strategis, seperti data mengenai inflasi, pertumbuhan ekonomi, ekspor-impor, ketenagakerjaan, industri, produksi tanaman pangan, dan kemiskinan. Data-data ini amat penting sebagai pijakan dalam proses pengambilan keputusan terkait arah pembangunan bangsa.

BPS menyadari data-data strategis yang dihasilkannya merupakan guidance yang menentukan arah pembangunan bangsa. Karenanya, menghasilkan data statistik yang berkualitas adalah suatu kaharusan bagi BPS. Statistik yang tidak berkualitas−akurat−hanya akan memberikan infromasi yang keliru dan meyesatkan bagi para pengguna data, khususnya para pengkaji kebijakan dan pegambil keputusan di negeri ini. Untuk itu, dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, BPS berupaya semaksimal mungkin menyajikan data statistik yang berkualitas sebagai karya terbaik yang dapat dipersembahkan untuk negeri ini.

BPS juga menyadari keberadaan data-data strategis yang dihasilkannya ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, data-data strategis tersebut dapat digunakan pihak penguasa untuk menjastifikasi berbagai keberhasilannya dalam menjalankan roda pembangunan, dan di sisi lain juga dapat digunakan oleh pihak oposisi untuk mengkritisi, bahkan menyerang kinerja pemerintah.

Karenanya, BPS selalu berupaya memosisikan diri secara independen dengan menyajikan data secara objektif dan apa adanya. BPS selalu menjadikan kejujuran sebagai panglima dan prinsip-prinsip ilmu statistik sebagai landasan pijakan dalam menghasilkan data-data statistik. Keduanya merupakan ruh dalam berbagai kegiatan statistik yang diselenggarakan BPS. Dalam hal ini, merekayasa angka untuk kepentingan apa pun pantang buat BPS.

Tuduhan merekayasa angka

Kepercayaan publik terhadap pemerintah yang kian merosot saat ini, menjadikan BPS kerapkali menerima tuduhan miring terkait data-data srategis yang dihasilkannya. BPS kerap kali dituduh berbohong, sebagai alat pencitraan politik penguasa, penjilat yangmemoles dan merekayasa angka, serta berbagai tuduhan lain yang terus terang begitu menyayat hati kami para insan BPS, yang telah bekerja begitu keras untuk mempersembahkan statistik yang berkualitasdemi menyokong denyut nadi pembangunan negeri ini.

Data kemiskinan misalnya, seringkali mendapat sorotan tajam sertamengundangpolemik dan kontroversi. Apalagi kalau data BPS menunjukkan angka kemiskinan turun seperti pada Maret 2011 lalu, hujatan pun datang bertubi-tubi. Kondisi ini tidak heran mejandikan BPS merasa berat dan tak enak hati ketika mengumumkan angka kemiskinan. Naik salah, turun pun salah. Padahal, angka tersebut murni dari hasil survei yang begitu menguras tenaga dan pikiran, serta tidak mungkin direkayasa.

Dan belakangan ini, polemik kebijakan impor beras kembali menyeret BPS ke pusaran kritik. Karena pasalnya, impor dilakukan ketika data-data BPS menunjukkankalau produksi beras nasional surplus. Dalam logika awam sekalipun, orang pasti akan bertanya, kenapa harus impor padahal surplus?Terkait hal ini, lagi-lagi BPS dituduh sebagai alat pencitraan pemerintah.

Contohnya,  tudingan yang disampaikan oleh Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, saat unjuk rasa memperingati Hari Tani pada Sabtu lalu (24/9). Dia menuding kalau data BPS yang menunjukkan Indonesia surplus beras adalah kebohongan dan sekedar pencitraan untuk menutupi kegagalan pemerintah. Secara tegas dia menyatakan, data-data BPS terkait surplus beras, pertambahan lahan sawah, dan penurunan jumlah penduduk miskin hanya sebatas pencitraan, karena kenyataannya tidak seperti itu.

Data produksi beras bukan pencitraan

Berdasarkan data BPS, produksi padi tahun ini diperkirakan dapat mencapai 68,08 juta ton gabah kering giling (GKG). Dengan menggunakan laju konversi sebesar 0.57, produksi beras nasional tahun ini diperkirakan dapat mencapai 38, 8 juta ton beras. Dan jika konsumsi beras saat ini diasumsikan sebesar 139,15 kilogram/kapita/tahun, maka konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia mencapai33 juta ton. Itu artinya tahun ini, Indonesia seharusnya surplus beras sekitar 6 juta ton.

Hasil hitung-hitungan BPS di atas kenyataannya tidak sejalan dengan pergerakan harga beras yang mulai merangkak naik sejakJuli lalu. Mekanisme demand-suplly dalam ilmu ekonomi mengharuskan jika produksi beras nasional melimpah, seharusnya tidak terjadi kenaikan harga beras di pasaran, karena sudah pasti suplai beras melimpah. Karenanya, dengan alasan klise untuk mengamankan cadangan beras nasional dan stabilisasi harga,Bulog memutuskan untuk mengimpor beras dari sejumlah negara. Dan hingga kini, sebanyak 800 ribu ton beras impor asal Vietnam dan Thailand telah masuk ke Indonesia.

Anomali pergerakan harga beras dengan hasil hitungan-hitungan BPS sehingga berujung pada keputusan Bulog untuk mengimpor beras tentu akan mengundang tanda tanya, dan bisa menjurus pada tudingan bahwa data produksi padi hasil hitungan BPS tidak akurat atau sengaja direkayasa untuk pencitraan pemerintah. Tudingan ini bisa saja benar. Tetapi berbagai kemungkinan lain seperti dugaan adanya penimbunan yang dilakukan para pedagang beras−yang sebagian mereka notabene rekanan Bulog−juga patut dipertimbangkan sebagai penyebab.

Data produksi padi yang selama ini dihasilkan BPS memang telah lama ditengarai oleh para ekonom pertanian menderita overestimate (melebihi perkiraan). Namun sayangnya hingga kini, para ekonom tersebut tidak mampu memberikan solusi terbaik untuk menghasilkan metode penghitungan produksi padi yang lebih baik.

Tantangan untuk menghasilkan metode terbaik dalam memperkirakan produksi padi bukan hanya soal akurasi. Tetapi juga, bagaimana metode tersebut applicable di lapangan, yakni terjangkau dari sisi waktu dan biaya. Selama ini, penghitungan produksi beras dilakukan oleh BPS bekerjasama dengan Kementrian Pertanian. Untuk menghitung produksi beras, BPS menggunakan hasil perkalian antara produksi tanaman padi per hektar (produktivitas) dan luas panen sehingga diperoleh angka produksi padi yang kemudian dikonversi ke-beras.

Pengukurun produktivitas yang dilakukan oleh BPS melalui survei ubinan sebenarnya sudah cukup akurat. Penambahan sampel ubinan pun juga terus dilakukan. Masalahnya adalah pada penghitungan luas panen yang dilakukan oleh Dinas Pertanian atau Dinas serupa di bawah koordinasi Kementerian Pertanian di daearah, yang masih mengandalkan berbagai metode konvensional, seperti perkiraan luas dengan menggunakan informasi penggunaan air dan pupuk, laporan petani pada pengurus desa, serta metode pandangan mata (eye estimate).

Metode pandangan mata adalah yang paling tidak akurat, namun masih sering digunakan. Dalam prakteknya, mantri tani hanya melihat hamparan padi, lalu memperkirakan luasnya. Akurasi cara seperti ini tentu sangat lemah, belum lagi kalau data luas panen dikerjakan di atas meja.

Selama ini, sebenarnya telah dicoba berbagai metode pengumpulan data luas panen yang lebih mutakhir dan akurat. Misalnya, penggunaan teknologi Global Positioning System (GPS) dan penggunaan citra satelit atau teknologi penginderaan jarak jauh. Tetapi, kembali lagi pada masalah waktu dan biaya. Kedua metode ini seringkali tidak applicable di lapangan. Pengumpulan data luas panen dengan GPS misalnya, sudah pasti sangat akurat. Namun, dari segi waktu tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat. Padahal, data luas panen harus dilaporkan setiap bulan. Begitu pula dengan menggunakan citra satelit, biaya yang dibutuhkan sudah pasti sangat mahal, karena cakupannya adalah seluruh Indonesia. Karenanya hingga kini, tak satu pun dari metode-metode tersebut yang bisa diadopsi dengan baik dan berkesinambungan.

*****

Metode penghitungan produksi padi/beras yang ada selama ini memang masih banyak kekurangan dan kelemahannya sehingga data produksi padi/beras yang dihasilkan juga demikian. Tetapi menuduh BPS melakukan kebohongan dan rekayasa atas data produksi tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Dan benar-benar telah melukai hati kami para insan BPS yang telah bekerja mengerahkan segenap tenaga dan pikiran di tengah berbagai keterbatasan yang ada untuk menghasilkan data yang berkualitas.

BPS tidak memungkiri kalau data-data seperti produksi padi dan jumlah penduduk miskin masih memilki kekurangan dalam metodologi penghitungannnya. Tetapi, percayalah! BPS tidak pernah melakukan rekayasa terhadap data-data tersebut untuk kepentingan pencitraan pemerintah. Karena membohongi bangsa dan negara dengan data-data yang direkayasa tak ada untungnya sama sekali.

Sumber tulisan Kompas.com, data-data dari BPS

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun