Saya tertarik menulis artikel ini setelah membaca komentar miring terhadap data kemiskinan BPS di artikel yang dimuat di Kompasiana ini pada 26 September lalu –bertepatan dengan Hari Statistik Nasional. Artikel tersebut diberi judul “Selamat Hari Statistik!!!”, dan sempat menjadi headline.
***
Statistik kemiskinan yang dirilis pemerintah di ruang publik kerap menuai polemik, silang sengkurat, dan mengundang kontroversi. Angka kemiskinan versi pemerintah memang selalu menggemaskan.
Badan Pusat Statistik (BPS), lembaga resmi pemerintah yang selama ini diamanahi tugas untuk menghitung angka kemiskinan, acapkalidituduh berbohong terkait angka kemiskinan yang dirilisnya. Statistik kemiskinan telah dipolitisasi dan dimanipulasi, diramu sedemikian rupa untuk menyenang-nyenangkan penguasa. Demikian, sejumlah hujatan terhadap BPS yang kerap tersua di pelbagai media.
Alhasil, di tengah kepercayaan publik terhadap statistik kemiskinan resmi yang telah menyentuh titik nadir, pemerintah pun mengalami hambatan untuk meyakinkan publik terkait keberhasilannya dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Padahal, telah luar biasa usaha (effort) yang dikerahkan pemerintah untuk itu. Anggaran yang telah digelontorkan pun bukan main banyaknya, nyaris menyentuh 100 triliun.
Angka Statistik Kontra Realita
Jika menengok publisitas angka-angka statistik selama ini –bukan hanya yang diwartakan oleh BPS –capaian Indonesia dalam mereduksi jumlah penduduk miskin, boleh dibilang, cukup mengesankan. Sepanjang tahun 2005-2009, misalnya, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa laju penurunan jumlah penduduk miskin Indonesia termasuk salah satu yang tercepat di dunia, yakni mencapai 0,8 persen per tahun. Indonesia lebih baik dibanding Kamboja (0,11 persen), Thailand (0,09 persen), Philipina (0,01 persen), dan India yang justru mengalami peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 0,18 persen per tahun sepanjang tahun 2005-2009 meskipun performa makro ekonominya jauh lebih mengesankan dibanding Indonesai.
Sayangnya, di dalam negeri capaian di atas justru minim apresiasi dan sama sekali sepi dari riuh tepuk tangan. Keberhasilan tersebut seolah tenggelam oleh arus ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang dianggap gagal dalam penegakkan hukum –khususnya pemberantasan korupsi –dan perlindungan hak asasi manusia. Negeri ini pun dicap sebagai “negara gagal” oleh rakyatnya sendiri.
Kondisi ini sebetulnya dapat dimengerti. Pasalnya, statistik kemiskinan yang begitu mengesankan itu “seolah” tidak sejalan dengan fakta keseharian yang ditemui oleh publik. Bagi mereka, angka kemiskinan yang dilaporkan terus menurun secara konsisten selama beberapa tahun terakhir adalah sesuatu yang terlalu sulit diterima –bahkan tidak masuk akal–di tengah kian beratnya tekanan beban ekonomi yang dirasakan karena harga-harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik dengan kecepatan yang jauh melampaui peningkatan pendapatan mereka. Berhubung kehidupan ekonomi yang dirasakan kian sulit dan mencekik, menurut mereka yang terjadi galibnya adalah sebaliknya: jumlah penduduk miskin bertambah.
Tentu saja, baik statistik kemiskinan versi pemerintah maupun sanggahan publik di atas, yang dibangun berdasarkan fakta keseharian yang dirasakan, keduanya bisa benar atau salah. Statistik kemiskinan yang dirilis pemerintah selama ini boleh jadi tidak menangkap kondisi kemiskinan yang sesungguhnya terjadi. Dalam bahasa statistik, mungkin saja pengukuran kemiskinan yang dilakukan pemerintah –yang dalam hal ini BPS –ternyata bias. Jika demikian kondisinya tentu harus diperbaiki.
Ruang untuk hal ini cukup terbuka, mengingat metode yang digunakan hanyalah pendekatan statistik (kuantitatif) yang sudah barang tentu tidak menghasilkan sebuah angka dengan kebenaran absolut (pasti). Orang bilang, jika tak ada error, bukan statistik namanya. Coba tengok hasil hitung cepat (quick count) Pilkada DKI Jakarta baru-baru lalu yang didasarkan pada metode statistik (survei), tentu berselisih dengan hasil penghitungan resmi (real count) KPUD DKI. Itulah statistik, selalu ada selisih antara hasil estimasi (perkiraan) dengan yang diestimasi.
Statistik kemiskinan yang diwartakan BPS selama ini juga hanyalah estimasi yang didasarkan pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), yang memotret pengeluaran konsumsi 75.000 sampel rumah tangga yang menyebar di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Peluang hasil estimasi melenceng jauh dari fakta yang ingin dipotret (kondisi kemiskinan) tentu selalu ada –meskipun sebetulnya sangat kecil (tidak lebih dari 5 persen).
Atau boleh jadi justru sebaliknya, statistik kemiskinan pemerintah sudah betul dalam menggambarkan kondisi kemiskinan yang terjadi, dan sanggahan publik yang didasarkan pada fakta keseharian ternyata keliru. Hal ini tentu sangat mungkin terjadi karena untuk menarik konklusi tentang gambaran kondisi kemiskinan Indonesia–dari Sabang sampai Boven Digoel–informasi yang sifatnya sepotong-sepotong alias parsial acapkali menyesatkan.
Gambaran sederhananya seperti ini: bila kita hanya menyimpulkan gambaran demografi penduduk Indonesia menurut jenis kelamin berdasarkan fakta keseharian yang kita dapati di dalam bus Transjakarta tanpa menengok ke jalan raya (tempat sepeda motor tumpah ruah yang umumnya dikemudikan para lelaki), tentu kita akan menyimpulkan bahwa di negeri ini lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki. Kesimpulan yang tentu sesat dan keliru karena hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa sex ratio penduduk Indonesia sebesar 101. Artinya, untuk setiap 100 penduduk perempuan ada 101 penduduk laki-laki……bersambung.
Tulisan selanjutnya: Orang Miskin, Berapa sih Jumlahnya?
Sumber data: BPS dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H