Salah satu isu yang mengemuka belakangan ini adalah importasi beras. Meski pemerintah baru saja menegaskan bahwa tidak ada impor hingga Juni, isu ini sebetulnya bisa diredam lebih awal jika keputusan tegas bisa diambil lebih cepat.
Kesan bahwa pemerintah tidak kompak soal impor beras mestinya bisa dihindari. Dalam beberapa pekan terakhir, publik disuguhi dinamika penggodokan kebijakan strategis yang seolah tanpa koordinasi dan mengabaikan data statistik. Sebuah kebijakan yang efektif mestinya dituntun oleh bukti lapangan yang terekam melalui data (evidence based policy).
Kita disuguhi silang pendapat dan debat publik yang sebetulnya tidak perlu. Politik beras negeri ini memang terkadang pelik. Ini bukan hanya soal data tapi juga tempat bergumulnya berbagai kepentingan. Alhamdulillah, pada akhirnya kepentingan para petani (kecil) yang dimenangkan.
Terlepas dari alasan untuk memperkuat iron stock, importasi beras diwacanakan pada timing yang sangat tidak tepat. Maret hingga April adalah masa panen raya. Dalam kondisi normal, ini adalah pola musiman  yang terjadi secara persistent selama ratusan tahun, sejak statistik padi dikumpulkan untuk pertama kalinya pada masa kolonial.
Melihat pola panen yang tersaji pada gambar di atas, isu importasi beras bisa dimaklumi jika diwacanakan pada masa paceklik panen, yakni periode Juni-Juli atau November-Desember.
Mestinya, Badan Urusan Logistik (Bulog) disiapkan dan didukung sepenuhnya sejak awal tahun untuk menyerap seoptimal mungkin gabah dan beras produksi petani sepanjang periode Januari-April 2021.
Potensinya sangat besar. Hasil Survei Kerangka Sampel Area (KSA) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Maret menunjukkan bahwa potensi produksi beras pada Januari-April 2021 mencapai 14,54 juta ton.
Catatan memang perlu diberikan kepada angka BPS tersebut karena masih bersifat potensi. Namun, hasil kajian yang dilakukan BPS selama ini memperlihatkan bahwa data potensi cukup akurat meskipun tidak seratus persen tepat. Selisih angka potensi dan angka tetap secara rata-rata sekitar 5 persen. Kalaupun angka potensi dikoreksi sekitar 10 persen, produksi Januari-April 2021 tetap melimpah dan lebih tinggi dari tahun lalu.
Angka potensi yang disampaikan BPS juga sejalan dengan perkembangan harga gabah di tingkat petani di awal tahun, yang memperlihatkan tren penurunan. Petani umumnya mengeluhkan bahwa harga gabah jatuh. Ini merupakan indikasi bahwa produksi padi memang melimpah. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika impor 1 juta ton beras jadi dilakukan.