Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengapa Beras Kerap Bikin Gaduh?

9 Februari 2018   13:59 Diperbarui: 11 Februari 2018   20:41 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay/Lightluna94

Dominasi beras dalam pola diet orang Indonesia memiliki konsekuensi sosial, ekonomi, dan politik. Dari sisi ekonomi, porsi alokasi pengeluaran untuk beras cukup besar dalam struktur pengeluaran masyarat Indonesia. Pada kelompok masyarakat miskin,  proporsi pengeluaran untuk beras bahkan bisa mencapai lebih dari 50 persen dari total pengeluaran. Tidak membikin heran jika beras merupakan kontributor utama dalam perhitungan garis kemiskinan.

Oleh karena itu, harga beras bertalian erat dengan nasib puluhan juta penduduk miskin. Kenaikan harga beras akan menurunkan daya beli masyarakat. Jika kenaikan harga tidak terkendali konsekuensinya sangat jelas: jumlah penduduk miskin bertambah dan kehidupan masyarakat miskin akan semakin memburuk.

Sumber: BPS
Sumber: BPS
Inflasi yang merupakan salah satu indikator stabilitas ekonomi makro dan sangat mempengaruhi iklim investasi dan kegiatan usaha juga sangat sensitif terhadap pergerakan harga beras. Hal ini terjadi karena kontribusi beras dalam perhitungan inflasi sangat besar pada kelompok bahan makanan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa kenaikan harga beras merupakan kontributor utama inflasi Januari 2018. BPS melaporkan inflasi Januari 2018 sebesar 0,62 persen dan kontribusi kenaikan harga beras mencapai 0,24 persen.

Urgensi beras yang sangat vital secara sosial dan ekonomi menjadikannya komoditas yang sangat strategis dari sisi politik. Ketersediannya dengan harga yang terjangkau dan dalam jumlah yang mencukupi dari produksi dalam negeri (swasembada) merupakan tolak ukur utama keberhasilan pemerintah di bidang pangan. Sejarah negeri ini membuktikan, gejolak harga beras karena kelangkaan pasokan merupakan salah satu faktor utama penyulut gejolak politik yang berujung pada tumbangnya rezim yang berkuasa.

Tidak membikin heran jika isu swasembada beras selalu menjadi komitmen politik pemerintah. Anggaran yang digelontorkan untuk mengamankan produksi beras dalam negeri juga sangat besar. Celakanya, seperti yang disampaikan banyak pengamat pertanian, hal ini menjadikan pemerintah kerap terjebak dalam bias beras dalam kebijakan pangan nasional.

Tak bisa dipungkuri, meski cakupan komoditas pangan sangat luas, urusan pangan selalu identik dengan beras. Dan hal ini, hanya bisa dihilangkan jika ketergantungan terhadap beras dapat dikikis dengan mendorong diversifikasi pangan. Dengan kata lain, konsumsi pangan lokal selian beras harus digalakkan. Sebuah pekerjaan mengubah habitus yang tentu saja tidak mudah. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun