Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Fakta Tentang Pekerja Anak di Indonesia

21 Maret 2015   21:33 Diperbarui: 4 April 2017   18:16 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_404536" align="aligncenter" width="500" caption="Sumber: www.portalkbr.com"][/caption]

Ada satu ungkapan yang sudah lazim kita dengar: banyak anak, banyak rejeki. Ungkapan ini mungkin ada betulnya bila posisi anak semata-mata dilihat sebagai faktor produksi tenaga kerja atau sumber pendapatan keluarga.

Kenyataannya, selama proses tumbuh kembangnya dari  lahir hingga dewasa, seorang anak punya hak-hak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Dengan kata lain, seorang anak bukanlah obyek eksploitasi untuk menambah pendapatan keluarga.

Hak-hak tersebut, antara lain, mencakup asupan gizi yang cukup dan pendidikan yang berkualitas. Setiap orang tua bertanggung jawab membesarkan anaknya agar menjadi generasi produktif dan siap memasuki pasar kerja.

Dari sudut pandang ini, membesarkan seorang anak bukanlah investasi  yang murah. Seorang anak bukan lagi sebagai sumber pendapatan keluarga, tapi beban tanggungan yang membutuhkan alokasi pendapatan yang tidak sedikit. Artinya, ungkapan “banyak anak, banyak rejeki” sejatinya kurang tepat.

Sayangnya, hingga kini, eksploitasi anak sebagai pekerja  untuk membantu menambah pendapatan keluarga masih saja terus berlanjut. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) memperlihatkan, tingkat partisipasi anak di pasar kerja masih cukup tinggi. Pada 2014, misalnya, jumlah anak berumur 10-17 tahun yang secara ekonomi aktif bekerja mencakup 2,77 persen dari jumlah total penduduk 10-17 tahun. Mereka aktif bekerja membantu keluarga ketika anak-anak lain sibuk bermain dan bersekolah.

Sekedar diketahui, definisi anak adalah penduduk yang berumur di bawah 18 tahun. Definisi ini diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003.

Patut diperhatikan, jumlah anak dengan usia 5-9 tahun yang aktif bekerja faktanya juga cukup tinggi. Hasil Survei Pekerja Anak yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2009 menunjukkan, jumlah penduduk berumur 5-12 tahun yang bekerja mencapai 674,3 ribu jiwa atau mencakup sekitar 16,64 persen dari jumlah total pekerja anak (penduduk usia 5-17 tahun) yang mencapai 4,05 juta orang.

[caption id="attachment_404537" align="aligncenter" width="540" caption="Sumber: Razali Ritonga, BPS"]

1426948315996011413
1426948315996011413
[/caption]

Hasil Survei Pekerja Anak 2009 juga memperlihatkan bahwa 65,5 persen pekerja anak merupakan pekerja keluarga tidak dibayar (unpaid family worker). Fakta ini sejatinya memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, sebagian besar pekerja anak merupakan “korban” eksploitasi keluarga.

Kedua, keberhasilan pemerintah dalam menekan jumlah pekerja anak atau menghentikan eksploitasi terhadap anak sangat ditentukan oleh kesadaran dan partisipasi kepala keluarga. Selama mereka terkungkung dalam cara pandang yang keliru, bahwa anak merupakan faktor produksi tenaga kerja, eksploitasi terhadap anak bakal terus berlanjut.

Di atas itu semua, eksploitasi terhadap anak pada dasarnya tidak terlepas dari alasan ekonomi keluarga. Tak bisa dimungkuri, kondisi serba kekurangan dan tekanan ekonomi yang dihadapi keluarga seringkali merupakan penyebab utama sehingga anak dipaksa bekerja. Karena itu, upaya paling mendasar yang harus dilakukan pemerintah untuk menghentikan eksploitasi terhadap anak sejatinya adalah mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun