[caption id="attachment_404536" align="aligncenter" width="500" caption="Sumber: www.portalkbr.com"][/caption]
Ada satu ungkapan yang sudah lazim kita dengar: banyak anak, banyak rejeki. Ungkapan ini mungkin ada betulnya bila posisi anak semata-mata dilihat sebagai faktor produksi tenaga kerja atau sumber pendapatan keluarga.
Kenyataannya, selama proses tumbuh kembangnya dari lahir hingga dewasa, seorang anak punya hak-hak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Dengan kata lain, seorang anak bukanlah obyek eksploitasi untuk menambah pendapatan keluarga.
Hak-hak tersebut, antara lain, mencakup asupan gizi yang cukup dan pendidikan yang berkualitas. Setiap orang tua bertanggung jawab membesarkan anaknya agar menjadi generasi produktif dan siap memasuki pasar kerja.
Dari sudut pandang ini, membesarkan seorang anak bukanlah investasi yang murah. Seorang anak bukan lagi sebagai sumber pendapatan keluarga, tapi beban tanggungan yang membutuhkan alokasi pendapatan yang tidak sedikit. Artinya, ungkapan “banyak anak, banyak rejeki” sejatinya kurang tepat.
Sayangnya, hingga kini, eksploitasi anak sebagai pekerja untuk membantu menambah pendapatan keluarga masih saja terus berlanjut. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) memperlihatkan, tingkat partisipasi anak di pasar kerja masih cukup tinggi. Pada 2014, misalnya, jumlah anak berumur 10-17 tahun yang secara ekonomi aktif bekerja mencakup 2,77 persen dari jumlah total penduduk 10-17 tahun. Mereka aktif bekerja membantu keluarga ketika anak-anak lain sibuk bermain dan bersekolah.
Sekedar diketahui, definisi anak adalah penduduk yang berumur di bawah 18 tahun. Definisi ini diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003.
Patut diperhatikan, jumlah anak dengan usia 5-9 tahun yang aktif bekerja faktanya juga cukup tinggi. Hasil Survei Pekerja Anak yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2009 menunjukkan, jumlah penduduk berumur 5-12 tahun yang bekerja mencapai 674,3 ribu jiwa atau mencakup sekitar 16,64 persen dari jumlah total pekerja anak (penduduk usia 5-17 tahun) yang mencapai 4,05 juta orang.
[caption id="attachment_404537" align="aligncenter" width="540" caption="Sumber: Razali Ritonga, BPS"]
Hasil Survei Pekerja Anak 2009 juga memperlihatkan bahwa 65,5 persen pekerja anak merupakan pekerja keluarga tidak dibayar (unpaid family worker). Fakta ini sejatinya memberi konfirmasi mengenai dua hal. Pertama, sebagian besar pekerja anak merupakan “korban” eksploitasi keluarga.
Kedua, keberhasilan pemerintah dalam menekan jumlah pekerja anak atau menghentikan eksploitasi terhadap anak sangat ditentukan oleh kesadaran dan partisipasi kepala keluarga. Selama mereka terkungkung dalam cara pandang yang keliru, bahwa anak merupakan faktor produksi tenaga kerja, eksploitasi terhadap anak bakal terus berlanjut.
Di atas itu semua, eksploitasi terhadap anak pada dasarnya tidak terlepas dari alasan ekonomi keluarga. Tak bisa dimungkuri, kondisi serba kekurangan dan tekanan ekonomi yang dihadapi keluarga seringkali merupakan penyebab utama sehingga anak dipaksa bekerja. Karena itu, upaya paling mendasar yang harus dilakukan pemerintah untuk menghentikan eksploitasi terhadap anak sejatinya adalah mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H