Angka rasio gini pada tahun 2013 yang baru saja dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) kian merisaukan. Betapa tidak, indikator ekonomi yang menggambarkan ketimpangan distribusi pendapatan ini kembali mencatatkan rekor tertinggi, yakni sebesar 0,413 poin. Itu artinya, jurang kesenjangan ekonomi—yang telah memasuki skala medium  sejak tahun 2011—kian menganga.
[caption id="attachment_314427" align="aligncenter" width="602" caption="Sumber: diolah dari data BPS"][/caption]
Capaian pertumbuhan ekonomi yang membanggakan dalam sepuluh tahun terakhir nampaknya hanya dinikmati penduduk kelas menengah dan kaya. Ekonomi memang tumbuh rata-rata nyaris enam persen per tahun, namun tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan penduduk dengan kondisi ekonomi pas-pasan (baca: miskin). Dalam bahasa yang lebih sederhana, yang kaya makin kaya, sementara yang miskin tetap miskin.
[caption id="attachment_314428" align="aligncenter" width="525" caption="Pengeluaran kelompok kelas menengah dan kaya tumbuh cukup pesat sepanjang tahun 2013. Sebaliknya, pertumbuhan pengeluaran kelompok miskin cenderung stagnan bahkan negatif (Bank Dunia)"]
Secara faktual, laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat. Seolah tidak berimbang dengan besarnya dana yang telah digelontorkan pemerintah untuk berbagai program penanggulangan kemiskinan. Diketahui, anggaran untuk berbagai program penanggulangan kemiskinan pada tahun 2013 telah mencapai lebih dari 100 triliun.
Celakanya, penurunan jumlah penduduk miskin yang lambat ini justru hanya menambah proporsi penduduk hampir miskin. Mereka memang tidak miskin, namun berada di ambang kemiskinan dengan kondisi kesejahteraan yang sejatinya tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin. Karenanya, bila terjadi gejolak ekonomi, mereka sangat rentan untuk jatuh miskin.
Update terbaru data kemiskinan yang dirilis BPS pada awal bulan ini (2 Januari) mengkonfirmasi hal ini. Kenaikan harga-harga barang dan jasa (inflasi) sepanjang bulan Maret hingga September tahun lalu sebesar 5,02 persen—yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM pada bulan Juni—telah menyebabkan nyaris setengah juta penduduk hampir miskin terjerembap ke jurang kemiskinan. Padahal, pemerintah telah memberikan  bantuan sebesar 9,3 triliun kepada 15,5 juta rumah tangga melalui program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Boleh dibilang, kesenjangan ekonomi  yang kian menganga, dan lemahnya sensitifitas pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin merupakan bukti bahwa angka-angka pertumbuhan ekonomi yang kita banggakan selama ini sejatinya tidak berkualitas.
Sebagaimana telah diulas oleh banyak pengamat, salah satu penyebabnya adalah pertumbuhan ekonomi yang lebih digerakkan oleh sektor jasa (non-tradable), ketimbang sektor riil (tradable). Padahal, sebagian besar penduduk negeri ini menggantungkan hidup pada sektor riil (pertanian dan industri pengolahan).
Sektor pertanian, yang menjadi tumpuan hidup bagi sekitar 40 persen angkatan kerja dan merupakan sumber penghidupan sebagian besar penduduk miskin negeri ini , misalnya, sepanjang tahun 2005 hingga 2012 kenyataannya tak pernah tumbuh di atas empat persen—kecuali pada tahun 2008 tumbuh sebesar 4,83 persen.
Jadi, tak usah heran bila hasil Sensus Pertanian tahun 2013 menunjukkan bahwa 5 juta petani (rumah tangga pertanian) negeri ini telah lenyap dalam sepuluh tahun terakhir. Dan, mereka yang bertahan di sektor pertanian adalah generasi tua (sekitar sepertiganya berumur di atas 55 tahun). (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H