Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bahaya Mengintai Para Perokok Pasif

22 Januari 2014   11:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:35 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2012, seorang kawan saya didiagnosis mengidap kanker paru. Awalnya hanya batuk biasa. Karena sakit batuknya tak kunjung reda, ia kemudian memeriksakan diri ke dokter. Malang nasibnya, kanker yang bersarang di dalam tubuhnya ternyata sudah kronik. Stadium empat!  Dokter pun memvonis ia hanya bakal bertahan hidup selama enam bulan.

Seberapa panjang usia seseorang memang urusan Tuhan. Tapi, hasil diagnosis dan vonis dari dokter telah membuatnya terpukul, meski ia belum hilang harapan. Pengalaman menunjukkan, mereka yang mengidap kanker paru—apalagi sudah memasuki stadium lanjut—memang tak berumur panjang. Hari-hari yang dilalui ibarat penantian menunggu ajal menjemput. Memang tak pasti kapan datangnya. Tapi dari hari ke hari kian dekat. Enam bulan, kurang lebih.

Hebatnya, ia tak patah arang. Ia berusaha melawan kanker yang dari hari ke hari kian progressif dan menggerogoti tubuhnya yang kian ringkih. Berbagai macam pengobatan untuk merengkuh kesembuhan dicobanya, medis maupun alternatif. Senyum dan tawa juga sesekali tetap menghiasi wajahnya.

Apa daya, sel kanker ternyata terlalu kuat. Kawan saya itu akhirnya kalah setelah berjuang cukup lama. Vonis dokter hanya meleset dua bulan. Pada awal tahun 2013, ia mengembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta.

Kuat dugaan, penyebab kanker paru yang diidap kawan saya adalah paparan asap rokok. Suaminya adalah seorang perokok berat. Dan, ia setia menjadi perokok pasif selama lebih dari dua puluh tahun.

Apa yang dialami kawan saya ini merupakan gambaran betapa besarnya bahaya yang mengintai para perokok pasif di negeri ini. Negeri yang dihuni oleh 60 juta perokok aktif, 4 persen dari seluruh perokok di dunia (World Tobacco Atlas, 2012). Saban hari mereka membakar  720 juta batang rokok yang asapnya mengepul ke mana-mana, menyebarkan berbagai macam racun dan penyakit.

Soal bahaya paparan asap rokok bagi kesehatan saya kira tak usah dibahas lagi. Celakanya, bahaya itu juga mengintai mereka yang tidak merokok namun terkena paparan asap rokok alias perokok pasif. Naasnya, sebagian besar perokok pasif yang menjadi korban paparan asap rokok selama ini adalah kaum wanita.

[caption id="attachment_317450" align="aligncenter" width="614" caption="Sumber: World Tobacco Atlas, 2012"][/caption]

Pada tahun 2004, misalnya, sekitar 600 ribu perokok pasif (secondhand smoke) di dunia meninggal akibat penyakit yang disebabkan oleh paparan asap rokok. Dan, 47 persen di antaranya adalah kaum wanita. Karena itu, para perokok aktif di negeri ini seharusnya sadar bahwa aktivitas merokok yang mereka lakukan juga berbahaya bagi kesehatan orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang yang mereka cintai: anak, istri/suami, sahabat, dan keluarganya.

Sayangnya, meski bahaya yang ditimbulkan oleh paparan asap rokok sudah mengintai di depan mata, regulasi dalam soal pembatasan konsumsi rokok dan tembakau di negeri ini termasuk salah satu yang terlemah di dunia. Pendek kata, negeri ini adalah surga bagi para perokok dan produsen rokok. Kampanye anti rokok seolah begitu-begitu saja. Memang ada sedikit peningkatan. Tapi itu hanya sebatas tambahan kalimat “Rokok membuhmu” pada iklan rokok.

[caption id="attachment_317452" align="aligncenter" width="535" caption="Sumber: Wikipedia"]

1390364993189121858
1390364993189121858
[/caption]

Pemerintah seolah takluk dengan kepentingan para pelaku industri rokok dan tembakau. Hal ini tercermin dari posisi Indonesia sebagai satu-satunya negera di Asia yang belum meratifikasi dan memberlakukan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Sebuah kerangka kerja yang mengontrol konsumsi tembakau.

Terlepas dari pertimbangan ekonomi, pemerintah seharusnya sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok. Sudah sepatutnya, pemerintah melakukan upaya-upaya serius untuk mengendalikan konsumsi rokok dan tembakau, baik itu melalui regulasi yang ketat maupun kampanye anti rokok  yang lebih “keras”. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun