Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Politik

[Pidato Presiden] Cuma Cuap-Cuap Kok Butuh Dana 1,8 Milyar

22 Agustus 2011   21:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:33 1551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Pemimpin efektif bukan soal pintar berpidato dan mencitrakan diri agar disukai; kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan atribut-atributnya". (Peter F Drucker)

Salah satu kelebihan SBY sebagai presiden adalah kepiawaiannya dalam berpidato. Tidak sedikit orang di negeri ini yang mengakui akan hal itu−termasuk saya. Pidato-pidato SBY selalu disampaikan secara runut dengan artikulasi yang jelas, bukti kalau beliau adalah pribadi yang memiliki kesempurnaan dalam bertutur kata. Retorikanya begitu apik dan memukau.Begitu pula dengan tatabahasanya, sempurna dan sama sekali jauh dari kesan urakan.

Kepiawaian SBY berpidato juga diakui di pentas international. Saat berpidato di hadapan ratusan delegasi peserta konferensi buruh international di Jenewa Swiss lalu misalnya, SBY berhasil menyehir para peserta konferensi. Standing applause dari ratusan peserta sidang ILO pun membahana hampir lima menit lamanya, sejurus ketika Pak Beye menamatkan pidatonya yang memukau itu.

Ironisnya, selang beberapa hari setelah pidato SBY yang mengundang decak kagum itu, seorang TKW Indonesia, Ruyati binti Satubi, tamat riwatnya setelah dieksekusi pancung oleh pemerintah Arab Saudi. Nasib Ruyati yang berakhir di ujung pedang algojo, seolah sangat kontras dengan salah satu poin yang diangkat oleh SBY dalam pidatonya, yakni komitmen untuk melindungi buruh migran. Cibiran pun datang dari berbagai pihak kepada SBY, karena dinggap jauh kata dari laku.

Kasus pidato SBY di sidang ILO dan terpancungnya Ruyati, semakin memperkokoh kesan yang selama ini sudah terbangun di benak publik, kalau SBY adalah presiden yang hanya pandai berpidato, namun miskin raelisasi alias jauh kata dari laku. Pidato-pidato SBY yang disampaikan dengan retorika apik nan memukau dinggap tidak lebih dari sekedar pepesan kosong, dan bagian dari politik pencitraan. Bahkan, tidak jarang publik menganggap kalau SBY sering berbohong dalam setiap pidatonya.

Apa yang terjadi menjelang pidato kenegaraan SBY di depan anggota DPR RI pada 16 Agustus lalu, merupakan bukti kalau sebagian publik negeri ini sudah tidak menaruh simpati lagi terhadap pidato-pidato SBY. Mereka nampaknya sudah jenuh dan muak, karena merasa terlalu sering dibohongi.

Sebagaimana yang diberitakan oleh sejumlah media, sehari sebelum SBY berpidato, telah beredar imbauan untuk memboikot pidato tersebut. Imbauan disebarluaskan baik melalui SMS, Balckbary Messenger (BBM), maupun berbagai situs media sosial. Imbauan tersebut berbunyi “Himbauan !!!Gerakan hemat energy: Matikan TV anda pada tanggal 16 Agustus saat pidato kenegaraan SBY ditayangkan. Gerakan Hemat Energi Indonesia (Koalisi Rakyat Malas Dibohongi SBY).”

Entah ampuh atau tidak, imbauan tersebut ternyata berkorelasi positif dengan hasil jajak pendapat yang diselenggarakan oleh Litbang Kompas pada 16 Agustus yang lalu. Jajak pendapat yang digelar sesaat setelah SBY uasai membacakan pidatonya tersebut menunjukkan 85,7 persen responden mengaku tidak mengikuti acara pembacaan pidato SBY.

Terus, bagaimana dengan tanggapan mereka yang mengikuti pidato tersebut (14,3 persen responden)? Jawabannya tentu mudah diduga, yakni sebagian besar mereka menganggap pidato SBY tidak menggambarkan fakta yang terjadi di masyarakat (54,6 persen) dan tidak yakin apa yang dipidatokan oleh SBY benar-benar dilaksanakan (60,9 persen).

Sementara itu, budayawan Radhar Panca Dahana, dalam tulisannya di Koran KOMPAS (18/08/2011), menilai pidato SBY mengecewakan. Menurut Radhar, pidato SBY sama sekali tidak memuat pikiran-pikiran dari seorang kepala negera perihal esensi dan substansi permasalahan yang sedang dihadapai bangsa ini. Selain itu, dalam pidatonya, menurut Radhar, SBY gagal menghadirkan gagasan-gagasan revolusioner,juga solusi-solusi etis, moral dan kultural terhadap berbagai masalah kebangsaan yang ada.

Menghabiskan dana yang tidak sedikit

Ironisnya, pidato yang hampir sama sekali tidak mendapatkan simpati dari publik tersebut ternyata menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk diperdengarkan. Berdasarkan audit BPK, pada tahun 2010 lalu, anggaran untuk pidato SBY mencapai 1,8 milyar. Tahun ini, jumlah anggaran yang dikeluarkan untuk pidato presiden diperkirakan akan lebih besar lagi, karena untuk menyusun sambutan Ketua DPD terkait pidato SBY saja telah menghabiskna dana Rp 170 juta.

Dana milyaran untuk sebuah pidato tentu sangat tidak masuk di akal. Bukankah presiden selama ini mempunyai staf ahli kepresidenan. Selain itu, bahan dan data-data yang diperlukan untuk penyusunan pidato sudah dikumpulkan dari setiap departeman. Bukankah setiap bulan ada rapat kabinet di mana data dan masukan untuk bahan pidato dapat dihimpun melalui rapat tersebut.

Kenyataan ini tentu membuat kita miris dan mengelus dada. Kok bisa, hanya sekedar cuap-cuap –tidak lebih dari satu jam−mengahabiskan milyaran duit negera? Di mana pada saat yang sama ada puluhan juta penduduk negeri ini yang tengah terperangkap dalam belenggu kemiskinan. Sungguh terlalu.

***

Sumber tulisan Koran KOMPAS (18-19/08/2011), detiknews

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun