“Dijemput nasib,” meminjam istilah novelis kondang Andrea Hirata, mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan apa yang dialami Norman saat ini. Siapa nyana─dia pun pasti tak menduga─vidio lipsing “Chai-Chai” yang dinyanyikannya di depan pos jaga itu, bisa membuat sang briptu, seorang polisi biasa, bisa tenar seperti sekarang.
Setelah sempat menghilang dari pemberitaan infotainment selama beberapa waktu, Norman kini kembali muncul, dan keputusannya untuk mengundurkan diri dari kepolisian kini menjadi topik pemberitaan hangat di berbagai media infotainment.
Keputusan Norman ini antiklimaks dengan statementnya di awal-awal ketenarannya untuk tetap setia kepada korps kepolisian saat dihadapkan pada pilihan menjadi artis atau tetap menjadi brimob. Karenanya, meskipun banyak yang mendukung keputusannya, tidak sedikit pula kemudian yang mencibir. Norman dinggap telah “menjilat ludah sendiri”.
Norman menyatakan, alasan pengunduran dirinya adalah hendak merawat orangtuanya, ingin bekerja di luar polisi, dan ingin mengembangkan bakatnya. Namun, belakangan santer berhembus kabar, kalau alasan utama Norman mengundurkan diri karena dia telah terikat kontrak dengan sebuah perusahaan rekaman, PT Falcom Interacative. Nilai kontraknya pun tidak main-main, mencapai 5 milyar. Tidak heran, kabar yang belum tentu pasti kebenarannya itu telah memancing tudahan miring dari masyarakat kalau Norman “mata duitan.”
Saya kira semua orang sepakat, mengembangkan karir untuk menggapai kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik adalah dambaaan dan hak setiap orang, termasuk Norman. Apalagi, jika hal itu ditempuh dengancara-cara yang benar lagi halal. Karenanya, kita harus menghargai Norman atas keputusan yang diambilnya.
Orang boleh bilang Norman “mata duitan”. Tetapi, Norman lebih baik ketimbang para koruptor yang juga “mata duitan”. Mereka telah memiskinkan negeri ini dengan merampok milyaran, bahkan triliunan duit negara. Dan sebagian dari mereka adalah para Jenderal Polri pemiliki “rekening gendut” itu, yang hingga kini belum tersentuh hukum.
Norman dan wajah Kepolisian
Selama ini, kesan hampir semua orang terhadap institusi kepoliasian boleh dibilang hampir tidak ada baiknya. Saat mendengar kata kepolisian, maka yang terlintas dalam benak hampir setiap orang adalah korup, arogan, tidak humanis, sangar dan tidak bersahabat dengan masyarakat, jauh dari kesan mengayomi, apalagi melayani. Kesan-kesan seperti ini seolah telah terpatri di alam bawah sadar hampir setiap orang di negeri ini selama puluhan tahun.
Karenanya, kemunculan Norman sebagai seorang brimob yang pandai bernyanyi dan berjoget di media sedikit banyak telah menghapus image polisi yang telah terbangun selama ini. Masyarakat jadi tahu dan sadar ternyata ada juga polisi yang baik dan humanis seperti Norman.
Untuk itu, banyak pihak sangat menyayangkan jika Polri mengizinkan Norman mengundurkan diri. Bagi mereka, kepergian Norman akan sangat merugikan Polri yang tengah berupaya keras memperbaiki citra polisi. Seharusnya, Polri memberdayakan Norman sebagai duta citra kepolisian dengan memberikan kesempatan yang lebih kepadanya untuk mengembangkan bakat dan karirnya di dunia hiburan. Misalnya dengan menarik Norman ke Jakarta dan menempatkannya di bagian humas (hubangan masyarakat) bukan sebagai brimob seperti sekarang.
Seaandainya Norman jadi mengundurkan diri, semoga masih terisisa banyak polisi seperti Norman di negeri ini, meskipun mereka tidak ter-ekspose oleh media. Akhirnya, menutup tulisan ini, saya ucapkan terima kasih buat Norman yang telah menyadarkan saya─yang terlanjur kecewa terhadap citra polisi─bahwa di negeri ini masih banyak polisi yang baik dan menghibur.
*****
Sumber tulisan vivanews
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H