Pemerintah bali melalui Prof Ida bagus Mantra membentuk LPD (Lembaga perkreditan Desa). Selama ini LPD telah menopang perekonomian Desa Adat. Lpd sebagai wadah kekayaan desa baik berupa uang atau surat-surat berharga serta pengelolaan sumberdaya keuangan lainnya yang dapat menjadi milik desa adat. LPD di bali tumbuh sangat pesat tahun 2023 sebanyak 1.439 desa adat dengan total asset yang dikelola sebesar 24,31 triliun dan memilki 8000 tenaga kerja.
LPD dibuat berdasarkan nilai-nilai budaya, adat istiadat, dan tradisi Masyarakat bali. LPD sejatinya menjalankan usahanya dengan konsep kearifan lokal yaitu Tri Hita Karana. Tri Hita Karana adalah salah satu konsep budaya Bali yang intinya mengajarkan tentang keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksud berupa hubungan antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan manusia dengan manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungannya (palemahan). Implementasi dari nilai-nilai Tri Hita Karana telah tercermin dalam setiap budaya kerja LPD itu sendiri. Budaya kerja tersebut dapat terlihat dari standar perekrutan karyawan dari desa adat tersebut , perilaku kerja karyawan, etika rapat (paruman) yang masih sangat kekeluargaan , promosi produk layanan, dan pemanfaatan laba usaha.
Perkembangan LPD yang cukup pesat , Pemerintah berupaya memperkuat posisi LPD dengan menerbitkan regulasi. Regulasi terakhir yang diterbitkan berupa Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 tentang Lembaga Perkreditan Desa dan dijabarkan kembali melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 44 Tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Gubernur Bali Nomor 3 Tahun 2017 tentang Lembaga Perkreditan Desa. Selain itu setiap desa adat memiliki pararem yang berbeda dalam regulasi LPD di desa adat.
Selain hal positif keberadaan LPD di Desa Adat ternyata keberadaan LPD dewasa ini juga memiliki permasalahan yang cukup kompleks. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana saat jumpa pers akhir tahun di Kejati Bali, Jumat (29/12). Kasus yang paling menonjol kalau seluruh Bali mayoritas penyalahgunaan dana desa dan LPD. Sementara kasus suap dan gratifikasi berkaitan dengan korupsi di LPD semakin marak terjadi , seperti kasus korupsi teranyar ketua LPD desa bakas di Bali (26/4) merugikan negara sebesar 9,7 Milyar. Kasus Kepala Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Sangeh, Kecamatan Abiansemal sebesar 56,1Milyar, dan LPD anturan , Buleleng merugikan negara dengan Tindakan korupsi sebanyak 155 Milyar.
Masalah diatas tentu menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Apalagi Masyarakat yang memiliki deposito saat akan dicairkan ternyata kas kosong. Kasus korupsi di LPD menjadi kebingungan di ranah hukum, ada yang mengatakan masuk ranah pidana korupsi, namun ada pula pakar hukum yang memiliki pendapat berbeda yakni masalah LPD tidak mesti masuk keranah korupsi namun dapat diselesaikan di internal LPD itu sendiri.
Melihat beberapa kasus korupsi di LPD, LPD yang seharusnya mampu mensejahterakan masyarakatnya ternyata memberikan peluang berbeda yang bersifat negatif. Dengan persoalan ini di harapkan pemerintah dan Lembaga desa adat melakukan pengawasan dalam pengelolaan LPD melakukan intervensi dan pengawasan dalam pengelolaannya. Jika persoalan mampu ditangani dengan melakukan restoratif justice sepanjang ada kesepakatan dan penyelesaian secara kekeluargaan. Selain itu LPD juga harus meningkatkan kompetensi dan sumber daya manusia untuk menjawab tantangan ke depan. Sesungguhnya LPD itu tidak ada saingannya karena pasarnya sudah jelas yakni Krama desa adatnya, namun tentu kita harus terus meningkatkan kapasitas dan pengawasan kita (LPD).
Kadek Wiwin Dwi Wismayanti
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi
Universitas Negeri Jember
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H