Mohon tunggu...
Suksma Kadek
Suksma Kadek Mohon Tunggu... -

Just ordinary girl, penyuka kehijauan, Bali lover

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Teluk Benoa dan Takdir Bali

31 Agustus 2015   22:13 Diperbarui: 31 Agustus 2015   22:13 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap daerah punya takdirnya masing-masing. Misalnya saja, Jakarta ditakdirkan untuk jadi ibukota Indonesia. Bertahun-tahun merasakan hidup di Jakarta, saya sendiri merasakan beratnya takdir Jakarta itu. Jakarta adalah muara dari 13 sungai besar, Ciliwung, Pesanggrahan, Cipinang dan sebagainya. Otomatis, setiap musim penghujan, volume air yang mengunjungi Jakarta nyaris seperti gelombang migran yang datang setiap habis lebaran; sulit ditolak. Celakanya, makin lama, Jakarta makin tak mampu menahan dua jenis penyerbu itu. Penyerbu migran –termasuk saya sendiri juga pernah, hehe—merangsek setiap jengkal tanah Jakarta, mulai daratan normal hingga bantaran kali dan juga rawa. Sementara penyerbu alam berupa air, juga tak pernah berkurang jumlahnya. Bisa jadi air yang menyerbu Jakarta makin bertambah, karena di Puncak sana, daerah resapannya juga banyak dirangsek dan beralih fungsi.

Ketika dua jenis penyerbu ini masuk Jakarta, persoalan menjadi tambah ruwet. Secara geografis, Jakarta tidak siap untuk menjadi kota besar, apalagi untuk saat ini. Ketika Fatahilah membangun Jayakarta dulu, ia memanfaatkan muara sungai itu untuk pelabuhan saja, bukan untuk wilayah tinggal. Ketika Belanda masuk, pemerintahannya sudah menyadari betul kondisi ini, dan merancang kota sedemikian rupa hingga bisa mengatasi persoalan air yang datang. Tapi setelah itu, ketika Jakarta berkembang begitu liar, persoalan menjadi makin sulit dipecahkan.

Selama ekonomi dan pemerintahan masih terpusat di Jakarta, dan pertumbuhan ekonomi masih timpang, serbuan kaum urban akan sulit dibendung. Ini nyaris sama tak mungkinnya dengan melarang air di musim hujan melintasi Jakarta. Menurut saya, satu-satunya yang harus dilakukan Jakarta adalah berdamai dengan takdir, jangan melawannya. Ini yang dilakukan warga Venesia di Italia. Mereka tidak menentang takdirnya, tetapi menyesuaikan diri dengan takdirnya itu. Banjir yang datang ke Venesia tak lagi menjadi bencana, tapi dijadikan pesona yang meraup dana. Tapi untuk sampai seperti itu, memang butuh waktu yang panjang, terutama dari para penghuninya (penduduk dan pemerintahnya). Pemerintah harus cerdas menata kota, dan warga harus mau diajak kerjasama.

Saya jadi teringat kampung halaman di Bali. Bali ditakdirkan memiliki alam yang indah, masyarakat yang ramah, dan budaya yang luhur. Ini adalah berkah dewata. Setiap jengkal tanah di Bali adalah surga, setiap gerak warga Bali adalah pesona, dengan sedikit usaha, dana dari pariwisata bisa mengalir deras. Tapi seperti cerita Jakarta, segala sesuatu selalu membawa konsekuensi. Ketika Bali menjadi tujuan wisata dunia, persoalan muncul di sana-sini. Hotel tumbuh menjamur, jutaan orang datang dengan berbagai karakternya. Sedikit banyak, semua mengubah orang Bali dan juga alamnya. Orang Bali adalah orang yang sangat menghargai alam dan itu menjadi salah satu daya tarik wisata. Tapi jika pengunjung sudah berjuta, persoalan menjadi tidak sederhana. Yang paling nampak kasat mata adalah, sampah yang menggunung di mana-mana, di pantai dan di sungai-sungai.

[caption caption="Pendangkalan Teluk Benoa"][/caption]

Lihat saja kawasan Teluk Benoa, yang jadi muara dari lima sungai, antara lain Sungai Badung, Sama, dan Bualu. Kawasan di ‘kaki’ Bali yang justru jadi pesona utama Pulau Dewata itu tengah mengalami persoalan berat. Sampah yang terbawa mengendap di kawasan hutan mangrove, membuatnya semakin lama semakin dangkal. Jika air surut, Teluk Benoa tampak seperti rawa yang berbau, nyaris seperti rawa-rawa di utara Jakarta; tak sedap dipandang mata, apalagi jika melintas di atas jalan tol Mandara. Ini persoalan serius yang harus segera ditangani, jika tidak, Bali akan kehilangan pesonanya.

Saya mendengar kabar tentang revitalisasi Teluk Benoa. Ini menuai pro dan kontra. Ada perusahaan yang kabarnya akan merevitalisasi Teluk Benoa dan menjadikannya tempat wisata terpadu, memadukan antara kekayaan alam Bali, budaya lokal, dan modernitas. Bagi saya, ini sebetulnya terobosan yang baik. Teluk Benoa harus dibereskan, jangan dibiarkan menjadi tempat pembuangan sampah akhir tanpa solusi. Jika demikian, persoalan akan makin ruwet. Memang ada kekhawatiran tentang kerusakan alam, tapi pertanyaannya, menurut saya, alam di situ terlanjur sudah rusak. Jika tak ada solusi, kerusakannya akan semakin parah.

Logikanya sih sederhana saja, jika kawasan itu direvitalisasi, dijadikan tempat wisata terpadu, tentu saja wilayah itu akan dikelola dengan baik. Hutan mangrove yang mengelilingi Teluk Benoa akan dipelihara, karena itu menjadi salah satu daya tarik, dan tentu saja mangrove bisa mengurangi abrasi yang selama ini menggerogoti Pulau Bali. Jika revitalisasi jadi, sedimentasi tanah, lumpur dan sampah akan dibersihkan yang memungkinkan biota laut akan kembali berbiak. Soal sampah? Tentu saja sampah tak akan dibiarkan menumpuk oleh pengelola, yaa mana mungkin pengelola akan membiarkan sampah merusak asetnya. Akan banyak manfaat yang bisa dipetik warga Bali ketimbang membiarkan Teluk Benoa seperti sekarang ini, menjadi TPA terbesar.

Bagi saya, membiarkan Teluk Benoa seperti sekarang ini, itu sama dengan orang Jakarta yang menantang banjir dengan menghuni daerah-daerah resapan air, tapi teriak-teriak ketika banjir datang. Takdir Jakarta sebagai tujuan urban dan juga limpahan air jangan dilawan, tapi dikompromikan, seperti komprominya warga Venesia. Takdir Bali sebagai tujuan wisata dan mendatangkan dana dan juga masalah, jangan dilawan, tapi dikompromikan dan dicarikan jalan penyelesaiannya.

Jika tak ingin Teluk Benoa direvitalisasi, ya kembalikan saja Bali ke puluhan atau ratusan tahun lalu saat warga Bali masih menjadi petani dan nelayan, bukan penikmat industri wisata! Tapi itu tak mungkin, Bali sudah ditakdirkan menjadi destinasi wisata. Jika warga Bali bisa menikmati keuntungan itu, maka harusnya bisa pula berkompromi dengan risiko yang didatangkannya. Apalagi jika kompromi itu adalah untuk kebaikan bersama dan mengurangi risiko yang ada.

 

 

Antara Kuta-Denpasar, Agustus 2015

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun