Mohon tunggu...
Suksma Kadek
Suksma Kadek Mohon Tunggu... -

Just ordinary girl, penyuka kehijauan, Bali lover

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

MEA, Bali sebagai Kepala Rumah Tangga

20 Januari 2016   16:46 Diperbarui: 20 Januari 2016   16:59 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Tentang Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), tak perlu lagi saya bahas apa itu MEA, nanti kesannya terlalu menggurui, hehe… Saya hanya ingin menuliskan sedikit pemikiran saya soal ‘kesiapan’ kita –Indonesia—khususnya Bali menghadapi dan memasukinya.

Pertanyaan yang paling sering diajukan tentang MEA adalah, seberapa siapkah kita? Apakah kita akan mengambil keuntungan dari MEA, atau sebaliknya, lagi-lagi kita hanya menjadi pasar potensial dari berbagai produk luar? Apa yang kita andalkan untuk menghadapinya? Apakah lagi-lagi hanya segelintir orang yang menikmatinya, sementara masyarakat miskin lagi-lagi hanya menjadi korban dan penonton? Sulit untuk mengatakan bahwa kita siap seratus persen. Tapi menyatakan diri dengan nada pesimistik bahwa kita sama sekali nggak siap juga bukan pilihan. Mungkin bisa disebut, siap-nggak siap, MEA bukan pilihan.

Mungkin bisa diibaratkan, menghadapi MEA sama dengan menghadapi pernikahan. Banyak orang yang ragu menghadapi pernikahan karena begitu banyak konsekuensi yang akan dihadapi, terutama soal tanggung jawab. Selalu pertanyaannya –selain siapa calonnya, hehe—adalah, siapkah kita memasuki jenjang pernikahan itu? Siapkah kita dengan konsekuensinya, tanggungjawabnya, dan lain sebagainya.

Oke, menikah, membawa banyak konsekuensi. Tapi menikah adalah proses menjalani kehidupan baru, menjadi manusia yang sesungguhnya, yang setiap langkahnya harus diperhitungkan dengan baik. Dan yang harus diingat, setelah menikah, kita tidak lagi memikirkan diri sendiri, tapi juga ada pasangan, dan nanti, anak-anak. Menggabungkan diri dalam ikatan pernikahan tujuannya adalah untuk menjadikan kita menjadi lebih baik, hidup yang lebih teratur, merencanakan masa depan dengan pasangan dan anak-anak, menentukan target-target, dan memecahkan masalah bersama-sama. Intinya: bahagia dirasakan bersama, masalah diselesaikan bersama.

Kalau gagal? Mestinya, ketakutan akan kegagalan itu nggak ada dalam kamus orang yang akan menikah. Orang yang akan menikah tetapi memikirkan kegagalan, sebetulnya adalah orang yang belum atau tidak siap menikah. Jika kegagalan itu tampak di depan mata ketika sudah menikah, ya hindari sekuat mungkin dengan berbagai usaha, bersama tentunya. Kalau gagal juga, ya namanya takdir. Tapi yang terakhir itu urusan takdir, bukan urusan kita!

Nah, MEA itu sama seperti itu. Kita akan ‘menikah’ dengan ‘pasangan’ kita: Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Kita akan menjadi satu keluarga besar. Tujuannya untuk membuat kehidupan kita dan ‘pasangan’ juga anggota keluarga yang lain jadi lebih baik. Intinya ya itu tadi; sejahtera dinikmati bersama, ada masalah dihadapi bersama.

Apa kita siap? Apa Bali siap? Jika prinsipnya adalah seperti niat menikah tadi, ya kita harus siap, ‘pasangan’ kita juga harus siap. Menikah kan perlu modal? Iya. Kita kurang apa? Ibarat laki-laki, kita sudah punya semua modal untuk ‘menikah’: SDM kita melimpah, SDA jangan ditanya. Tinggal mempersiapkan mental.

Saya ingin ngomongin Bali, kampung halaman saya sendiri. Bali itu (seharusnya, jika dilihat dari modal) sudah sangat siap kalo urusan ini. Bali selama ini paling depan dalam menghadapi pergaulan internasional. SDM di Bali sudah sangat bersaing, dari soal kemampuan bahasa, kreatifitas, inovasi, dan lain sebagainya. Orang Bali sudah terbiasa bergaul dengan orang luar, tanpa kehilangan identitas budayanya sendiri. Orang Bali bisa menyelaraskan antara modernitas dengan identitas lokalnya. Orang Bali bisa memaksimalkan kekayaan budaya untuk mendapatkan keuntungan finansial, tanpa kehilangan makna dari budayanya itu sendiri. Dan soal SDA, nggak usah ditanya lagi, dari puncak gunung, dataran, danau, sungai, pantai hingga lautannya, Bali punya. Intinya, semakin bisa menjaga budaya dan lingkungannya, semakin kuat daya tarik Bali.

Bagaimana dengan daerah lain? Saya percaya, setiap daerah punya kelebihannya masing-masing, Aceh dengan identitas agamanya, Jakarta dengan pusat ekonominya, Jawa Barat dengan kreatifitasnya, Jogja dengan tradisinya, Jawa Timur dengan inovasinya, Kalimantan dengan alamnya, Sulawesi dengan pertaniannya, Maluku dengan perikananya, Papua dengan kekayaan yang dimilikinya, dan sebagainya. Jadi, sebetulnya, kita, Indonesia, sudah dan harusnya sangat siap. Bahkan, ke depan Bali secara khusus sebetulnya sangat siap untuk mengambil peran sebagai ‘kepala rumah tangga’ seperti peran masa lalu Indonesia yang berkontribusi besar dalam mensejahterakan anggota keluarga lainnya.

Bali itu diciptakan bukan hanya untuk Indonesia atau Asia tapi dunia. Mensejahterakan Bali berarti turut mensejahterakan Indonesia dan anggota keluarga MEA lainnya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun