Ajaran agama Hindu menyangkut persoalan yang sangat kompleks, baik secara jasmani maupun rohani Namun, mereka dapat diimplementasikan secara individu atau kolektif. Sifat luwes ajarannya tercermin dalam konsep; Desa, Kala dan Patra (tergantung tempat, waktu dan keadaan). karakter fleksibel menawarkan kesempatan untuk beradaptasi dengan teknologi ilmiah dan perkembangan temporal serta situasi ekonomi. Adanya sifat luwes dan flesibilitas karena Veda melampaui ruang dan waktu sebagai sumber ajaran Hindu.Â
Tiga aspek yang membentuk kerangka agama Hindu adalah Tattwa, Susila, Ritual (upacara/upakara). Tattwa mewakili cara berpikir manusia untuk memahami hakikat Weda, Susila, tindakan dan pengendalian perilaku berdasarkan tattwa, sedangkan ritual (upacara/upakara) memperkuat kepercayaan terhadap tattwa. Ketiga aspek ini harus menyatu dan saling terkait, sehingga kehidupan beragama tidak sempurna ketika salah satunya lemah. Dari ketiga aspek kerangka agama Hindu Bali, ritual (upakara) merupakan yang terpenting. Maka jalan atau "marga" untuk mencapai Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya adalah melalui Bhakti Marga.Â
Namun, Veda bereaksi terhadap hal ini dengan sangat fleksibel, menawarkan opsi yang paling cocok, di mana karakter dari empat "marga" dapat digunakan secara bersamaan dengan bobot yang sesuai untuk setiap kemampuan masing-masing. Â Oleh karena itu yadnya diselenggarakan, yadnya ditopang dan berpedoman pada keyakinan bahwa kehidupan manusia diawali dengan adanya na atau "hutang" kepada tiga pihak, yaitu; Dewa, Pitra dan Rsi. Ketiga "hutang" ini diselesaikan melalui ritual (upakara).Â
Ritual yang digelar selalu diiringi dengan upacara yang disebut "Banten". Maharsi Markandeya awalnya memperkenalkan Banten kepada masyarakat yang tinggal di desa Puakan-Taro (Tegallalang Gianyar) sekitar pertapaannya pada abad ke-8. Banten kemudian dikembangkan untuk umat Hindu yang belum mahir mantra dalam kegiatan keagamaannya. Kata "Banten" disamakan dengan kata "Bali", oleh karena itu orang yang melakukan upacara persembahyangan dengan "Banten" disebut sebagai orang Bali.Â
Dulu, ketika masyarakat Bali serba agraris, banten sangat mencerminkan ketulusan hati masyarakat Bali. Seluruh isi banten diambil dari kebun atau sawah  sendiri dan dibuat dari keringat sendiri. Hanya sebagian kecil yang dibeli, terutama bahan-bahan yang tidak tersedia di kebun atau di sawah. Namun, kini industri pariwisata berkembang pesat, semakin jarang terdengar bahwa bahan baku "Banten" berasal dari kebun dan sawah. Bahkan, kini sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat Bali untuk membeli atau menawarkan "Banten" di pasar. Hanya cukup uang yang harus dikeluarkan untuk upacara, semua persembahan dapat disiapkan untuk digunakan di tempat.
Pada lontar"Yadnya Prakerti dan juga Lontar Kusuma Dewa yang dimana menyebutkan bahwa dalam banten terdiri dari berbagai bahan, pada dasarnya terdiri dari unsur-unsur alam sebagai berikut:
- Mataya dimana bahan yang berasal dari sesuatu yang tumbuh atau tanaman, seperti daun, bunga, buah, dll.
- Maharya, bahan yang berasal dari sesuatu yang lahir yang diwakili oleh hewan tertentu seperti kerbau, kambing, sapi, dll.
- Mantiga adalah bahan banten yang berasal dari telur seperti telur ayam, bebek, angsa dll.
- Logam atau duta seperti perak, tembaga, besi, emas, timah (panca duta). Â
- Air atau cairan; Lima jenis cairan yang digunakan untuk banten Kelima zat cair ini disebut Panca Amerta, yaitu 1). Air tubuh atau Sarira dilambangkan sebagai "Empehan" atau susu, 2). Air dari buah diwakili oleh Berem, 3). Uap, air yang dihasilkan dari uap dilambangkan dengan daun, 4). Air yang berasal dari sari bunga dilambangkan dengan madu, 5). Air yang berasal dari tanah atau bumi dilambangkan dengan air jernih (bening).
- Api berupa dupa.
- Angin berupa asap yang harum.
Ketujuh bahan ini merupakan komponen utama persembahan dan dikembalikan kepada Sang Pencipta. Dalam melakukan ritual atau yadnya harus seimbang tiga hal yaitu: upacara, upakara dan mantra puja yang digunakan oleh pemimpin ritual. Selain itu, perlu menggunakan Tri manggala yadnya yaitu; Orang yang memberi yadnya, wiku tapin atau sesajen dan orang yang muput yadnya. Upakara berupa usul dan jasa pendukung merupakan simbol atau niyasa yang berfungsi; Kekuasaan Tuhan, bentuk ibadah, Prasadam/Lungsuran/Surudan, sarana penjernih pikiran dan pengganti mantra. Oleh karena itu, tujuan awal pembuatan banten diciptakan dan dikembangkan untuk umat Hindu yang tidak mahir dalam mantra dalam kegiatan keagamaannya. Dan kini tradisi yang diwariskan oleh Rsi Markandeya tersebut telah berkembang secara turun temurun dalam masyarakat Hindu dimanapun mereka bergantung pada situasi dan keadaan. Oleh karena itu, "Banten" tidak hanya sebagai alat upacara, tetapi juga sebagai tanda penguatan agama Hindu untuk stabilitas dan pelestarian tradisi kuno.
Banten sebenarnya merupakan anugerah dari segala alam, seperti tumbuh-tumbuhan dan berbagai binatang. Terapis spiritual bidang agama memaknai banten sebagai ungkapan ketulusan dan rasa syukur masyarakat Hindu kepada Sang Pencipta. Ketika Yang Mahakuasa menganugerahkan hadiah yang kaya kepada umat manusia, inilah saatnya bagi orang-orang untuk menghadiahi mereka dengan persembahan juga. Apa yang diperoleh dari alam juga diberikan kembali kepada Tuhan dalam bentuk banten. Kehadiran banten begitu kuat dan penting dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali sehingga kebutuhan masyarakat Bali akan banten sangat tinggi. Adapun kelebihan adanya banten bagi tradisi hindu yakni :
- Menghormati dan berhubungan dengan dewa: Banten merupakan wujud penghormatan dan hubungan spiritual antara umat Hindu dengan Tuhan. Dalam tradisi Hindu, diyakini bahwa banten memperlihatkan rasa syukur, pengabdian, dan penghormatan terhadap dewa-dewa yang dianggap sebagai sumber kekuatan dan keberkahan.
- Mempertahankan keseimbangan alam semesta: Hinduisme mengajarkan konsep keseimbangan alam semesta antara dewa, manusia, dan alam. Banten dimaksudkan untuk mempertahankan keseimbangan ini dengan menghormati dewa-dewa dan menunjukkan perhatian terhadap alam. Banten juga dapat menjadi tanda kepedulian terhadap ekosistem dan lingkungan.
- Memberikan kesempatan untuk introspeksi dan refleksi: Menyiapkan banten melibatkan proses yang hati-hati dan membutuhkan konsentrasi. Proses ini memberikan kesempatan kepada individu untuk merenungkan diri sendiri, memperkuat hubungan dengan spiritualitas mereka, dan menciptakan kedamaian dalam pikiran mereka.
- Membentuk identitas budaya dan komunitas: Banten merupakan bagian integral dari tradisi Hindu yang telah terjalin selama berabad-abad. Praktik ini membantu mempertahankan dan mengembangkan identitas budaya dan spiritualitas Hindu di masyarakat. Banten juga menjadi momen penting dalam kalender keagamaan Hindu, memperkuat rasa persatuan dalam komunitas Hindu.
- Menjaga keberlanjutan dan pewarisan budaya: Melalui generasi-generasi, tradisi banten telah menjadi warisan budaya yang penting. Praktik ini diajarkan dan dipelajari oleh keluarga dan guru agama Hindu kepada generasi muda, menjaga keberlanjutan dan pewarisan nilai-nilai tradisional.
Kehadiran "Banten" dalam tradisi Hindu di Bali telah menempuh perjalanan sejarah yang panjang. Dalam kitab Yajur Veda menyatakan bahwa persembahan diberikan kepada para dewa sebagai manifestasi dari Brahman; Gandam, Ksatam, Puspam, Dupam, Dipam, Toyama, Gretam dan Soma. Sementara itu, ajaran Tantrayana yang masih sangat berpengaruh di Bali menyatakan bahwa untuk menunjukkan ketakwaan kepada Tuhan, seseorang harus mengaktualisasikan konsep panca tattwa; Matsya, Mamsa, Madhya, Mudra dan Maithuna. Mendasari baik ajaran Veda maupun Tantrayana dan perasaan lokal masyarakat Bali adalah adanya sesajian berupa "banten" yang dibalut dengan simbol pengharapan manusia akan penampakan Tuhan.Â
Krisis multi dimensi saat ini telah mengarah pada komersialisasi "Banten" namun tidak mempengaruhi pola pikir masyarakat Hindu Bali dalam mengamalkan Dharma dan pengabdian kepada-Nya. Mereka adalah orang-orang yang percaya untuk menunjukkan identitas Hindu mereka dengan lebih tegas.Â