Mohon tunggu...
Zesar Wijaya Kusuma
Zesar Wijaya Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Undiksha

Sedang menempuh pendidikan di Universitas Pendidikan Ganesha

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membedah Makna Kuningan yang "Sesungguhnya"

20 November 2021   14:32 Diperbarui: 20 November 2021   14:34 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hari raya kuningan merupakan salah satu bagian dari rangkaian hari raya Galungan. Hari raya ini hanya berselang 10 hari setelah hari raya galungan, yaitu tepatnya pada Saniscara kliwon wuku kuningan. pada hari ini umat hindu melaksanakan persembahyangan ke pura dengan menghaturkan banten dan sarana upacara yang beragam contohnya seperti tamyang, sampian gantung, endongan dan lain sebagainya.  menurut Lontar Purana Bali Dwipa, hari raya galungan pertama kalinya dirayakan pada tahun 882 Masehi yang berarti sudah berjalan dari 1.139 tahun yang lalu.

          Ada beberapa versi yang menjelaskan tentang makna hari raya Kuningan. seperti misalnya Kata kuningan berasal dari kata "Uning" yang berarti ingat, atau "kuning" yang berarti makmur serta "kauningan" yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan jalan instropeksi diri.  Namun, apabila hanya dilihat dari asal katanya saja tentu cukup sulit untuk memahami makna sesungguhnya dari kuningan itu sendiri.

Untuk dapat memaknai hari raya kuningan kita harus menelusuri berdasarkan sastra-sastra yang ada. Beberapa lontar yang menjelaskan tentang galungan dan kuningan yaitu Lontar Sunarigama, Purana Bali Dwipa, Sri Jayakasunu, dan Aji Swamandala. Namun di dalamnya tidak ada yang menguraikan tentang makna dari Kuningan. Oleh karena itu, yang bisa dijadikan sebagai rujukan yaitu bentuk dari Banten kuningan yang memiliki ciri khas.

Dengan merujuk kepada bentuk Tamiang yang seperti Tameng, kuningan dapat dimaknai sebagai hari raya untuk menjaga (men-tamengi) kemenangan dharma (kebenaran) yang dirayakan saat Galungan. Selanjutnya, apabila dihubungkan dengan perlengkapan tamiang yang berupa ter dan kolem (sebagai bentuk senjata) serta dengan adanya endongan yang berisi lauk, maka kuningan juga dapat dimaknai agar kita selalu "uning/ingat" untuk berperang melawan adharma dengan berbekal isi endongan itu sendiri.

          Kemudian, apabila mengacu kepada mitos persembahyangan yang tidak boleh dilakukan melebihi dari jam 12 siang karena katanya para dewa dan pitara kembali ke kahyangan, maka kuningan dapat dimaknai sebagai hari turunnya Para dewa dan dewa pitara untuk memberikan anugrah yang nantinya ditaruh di endongan tersebut.

          Selanjutnya, dengan melihat Selanggi yang diisi nasi kuning yang dihaturkan di setiap pelinggih, menunjukkan adanya permohonan akan kesejahteraan. Sehingga dari nasi kuning tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk atau simbol dari kemakmuran.

          Terakhir, dikutip dari Bhagawan Dwija mengatakan makna dari Kuningan yaitu adalah mengadakan pemberitahuan/janji/nguningang kepada diri sendiri dan kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi bahwa dalam kehidupan saat ini kita akan selalu berusaha mengalahkan adharma. Adharma yang dimaksud yaitu tidak lain adalah "Sang Kala Tiga" yang muncul pada hari raya Galungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun