Mohon tunggu...
Kacung Kampret
Kacung Kampret Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Terus menerus mencari kebenaran dan berusaha untuk tetap obyektif. Saya ter-verifikasi. Nama dan identitas ada pada Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema "Umroh Sandal Jepit” dan Overstayer di Arab Saudi (Rawan Hidup-Rawan Mati)

17 November 2011   02:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:34 1974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Sebuah tulisan yang diperuntukkan khusus bagi para WNI Mukimin di Arab Saudi dan para WNI yang akan melaksanakan ibadah Umrah ke Arab Saudi)

Kawan-kawan pasti tidak asing lagi dengan istilah “umroh sandal jepit”, terutama bagi mereka yang (pernah) menjadi TKI di kota Jeddah, Makkah, Taif, Madinah dan sekitarnya. Umroh sandal jepit ini merupakan sebuah istilah dimana seseorang berangkat dari Indonesia dengan menggunakan visa umroh, dengan biaya murah dan tiket sekali jalan (atau tiket pulang pergi tetapi sesampainya di Arab Saudi, tiket untuk kembali ditukarkan lagi / di re-fund oleh penampung illegal) kemudian masuk ke Makkah, bermukim di rumah – rumah yang bersedia menampung jamaah umrohan ini (biasanya di bukit / gunung-gunung sekitar makkah) melakukan ibadah umroh, tinggal di Makkah sampai batas masa berlaku visa umrohnya selama satu bulan telah habis dan diteruskan bekerja sampai musim haji tiba.

Saat tiba waktunya musim haji, mereka turun ke Makkah, berbaur dengan para jama’ah haji lainnya untuk menjalankan ritual ibadah haji dan kemudian setelah selesai berhaji, mereka berkumpul di syari’ (jalan) Mansyur di makkah atau berangkat ke Jeddah dan berkumpul di sekitar KJRI jalan Al Mu’alifeen distrik Ar Rehab guna menarik perhatian jawazat (imigrasi setempat) agar ditangkap dan di deportasi ke Indonesia. Jika mereka berhasil selama melaksanakan praktek ini, maka barang – barang hasil jerih payahnya dikirimkan / di-kargo-kan terlebih dahulu ke Indonesia sebelum “menyerahkan diri”.

Sepertinya hal ini mudah untuk dilakukan. Ibarat istilah “3 in 1”, para WNI yang melakukan praktek ini mendapatkan 3 keuntungan sekaligus. Mereka bisa berangkat menjalankan ibadah umroh dengan biaya yang relatif sangat murah, bisa bekerja dan mengumpulkan uang selama menunggu tibanya musim haji, dapat berhaji gratis dan bahkan sekaligus dipulangkan dengan gratis melalui Tarhil (karantina imigrasi). Seringkali mereka dapat kita temukan diantara tenda – tenda para jamaah haji asal indonesia, berjualan mie instan, kopi dan makanan kecil lainnya dengan membawa bekal dan koper seadanya. Sehabis musim haji seperti sekarang ini, kemungkinan besar mereka akan kembali berkumpul di sekitar kantor KJRI Jeddah, menarik perhatian aparat keamanan setempat dan “memaksakan kehendak”-nya untuk pulang ke Indonesia secara g.r.a.t.i.s dengan cara di deportasi.

Rawan hidup rawan mati

Tapi satu hal yang yang tidak kawan – kawan sadari, adalah bahwa mereka yang melakukan praktek semacam ini menjadi sangat “rawan”. Rawan hidup dan bahkan rawan mati. Rawan hidup artinya bahwa mereka para pelaku umroh sandal jepit ini tidak dilindungi oleh hukum setempat, mudah dieksploitasi dan di “abuse” oleh para penampung illegal mereka, menjadi sasaran pemerasan dan tidak kejahatan seperti pelecehan seksual serta perkosaan. Mereka tidak akan bisa memperoleh iqomah atau kartu ijin tinggal di Arab Saudi.

Rawan mati artinya bahwa saat meninggalpun mereka akan kesulitan untuk dikuburkan di Arab Saudi. Hal ini dikarenakan bagi mereka yang mengurus proses dan ijin penguburan di Saudi memerlukan identitas yang lengkap, memiliki iqamah yang masih valid berlaku. Jika tidak mereka akan ditangkap oleh polisis dan dituduh melakukan pembunuhan. Akibat kesulitan penguburan ini, seringkali jenazah para WNI eks umroh sandal jepit ini ditinggalkan dan dikuburkan seadanya di puncak – puncak gunung atau di lembah – lembah yang jauh dari pemukiman penduduk di Makkah. Dalam beberapa kasus, KJRI Jeddah seringkali memperoleh kiriman mayat dalam kardus bekas pembungkus kulkas atau koper yang digeletakkan begitu saja di pinggir tembok kantor di dekat tempat sampah di tengah malam buta. Saat dibuka berisi mayat WNI yang diduga overstayer umroh.

Hukum Indonesia yang Lemah

Patut diakui bahwa Undang – undang di Indonesia yang mengatur tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umroh, yakni UU nomor 13 tahun 2008 tidak secara tegas mengatur sanksi bagi para penyelenggara ibadah umroh nakal yang menjalankan bisnis umroh sandal jepit ini. Perpu nomor 2 tahun 2009 pun hanya mengatur masalah perubahan dari paspor khusus haji berwarna cokelat menjadi paspor biasa berwarna hijau dan seputar ibadah haji, bukan memperbaiki masalah per-umroh-an secara keseluruhan.

Idealnya, bagi para biro perjalanan umroh yang nakal patut dan layak mendapatkan sanksi pidana yang berat. Hal ini dikarenakan tingkah polah para travel biro nakal  tersebut dapat dikategorikan melakukan tidak hanya sekedar people smuggling tetapi juga human trafficking ke Arab Saudi, sesuai UU nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Secara umum, perbedaan antara people smuggling dan human trafficking salah satunya adalah pada jangka waktu hubungan yang terjalin. Dalam smuggling, hubungan antara mereka yang menyelundupkan dan diselundupkan berakhir saat pihak yang meminta diselundupkan telah masuk ke negara yang ingin dituju / diperjanjikan. Dalam trafficking, hubungan keduanya terus berlanjut dan cenderung terjadi eksploitasi atas korban.

Menurut UU, kewajiban para travel agent tersebut sudah sangat jelas, yakni “memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi dan ketentuan peraturan perundang-undangan” (pasal 45 ayat 1 (b)). Namun pada kenyataanya banyak diantara mereka yang justru membiarkan jamaah mereka tinggal di Saudi melebihi masa berlaku visa. Sanksi bagi biro perjalanan umroh nakal tersebut hanyalah peringatan atau paling berat hanyalah pembekuan atau pencabutan ijin penyelenggaraan umrah sesuai ketentuan pasal 46 ayat 1 UU nomor 13/2008.

Tingkah Polah Jamaah dan Travel Umrah Nakal

Bagaimana para peserta umrah nakal ini beroperasi? Salah satu cara yang lazim dilakukan adalah dengan menempelkan seorang wanita yang bukan muhrim ke visa salah satu jamaah pria sebagai mahramnya (pendampingnya). Ketentuan kewajiban adanya mahram bagi wanita di bawah umur 45 - 50 tahun untuk melaksanakan ibadah umrah memang sedikit banyak “merepotkan” para jamaah umrah pria. Kebanyakan dari para jamaah umrah pria tidak mengetahui bahwa dirinya menjadi mahram bagi jamaah wanita lainnya. Sesampainya di Jeddah dan selesai melakukan ibadah umrah di Makkah, para jamaah umrah wanita ini kemudian pergi (kabur) meninggalkan rombongan. Saat tiba waktunya untuk pulang ke Indonesia, jamaah pria yang “ditempeli” mahram yang kabur tersebut serta penanggung jawab travel kesulitan untuk proses exit / pulang ke Indonesia dan tertahan di kantor imigrasi bandara.

Cara yang lain adalah kabur secara bersama – sama seluruh rombongan. Modus ini memang telah direncanakan sejak dari Indonesia. Mereka memang telah mempersiapkan diri untuk berangkat umrah dan tinggal secara bersama – sama di Makkah untuk kemudian pulang selepas haji. Hal ini tidak lepas dari adanya “tradisi” dan “budaya” dari beberapa kelompok masyarakat / suku bangsa di daerah – daerah untuk melaksanakan ritual umrah sandal jepit ini. Di kalangan masyakat sunda di daerah Jawa Barat dikenal dengan istilah “haji wisata”. Di kalangan masyarakat Banjar di daerah Kalimantan Selatan, proses menghilang dan tiarap selama di Makkah menunggu tiba waktunya bulan haji ini dikenal dengan istilah “batambun/batimbun”.

Memperoleh visa umrah di Jakarta-pun relatif mudah. Terdapat beberapa agen travel  mengumpulkan para jamaah dari agen travel kecil di daerah  kantong – kantong overstayer (seperti dari Kalimantan Selatan dan Jawa Timur) dan mengajukan visa umrah. Saat praktek illegal ini terendus oleh aparat kepolisian, mereka dapat dengan cepat membubarkan diri, berganti nama dan  alamat perusahaan (dengan merelakan uang jaminan pendirian travel biro perjalanan umrah “hangus”).

Rawan hidup: kasus 5 Banjar

Ada sebuah contoh kejadian yang mengenaskan dimana pada akhir bulan November tahun 2006, 5 (lima) orang WNI (lazim disebut kasus 5 Banjar untuk kemudahan penyederhanaan penamaan kasus – meskipun salah satunya berasal dari Jawa Barat) yang melakukan umrah sandal jepit dan menjadi overstay melakukan pembunuhan terhadap seorang WN Pakistan yang menjadi penampung illegal mereka. Hal ini disebabkan si WN Pakistan ini seringkali mengganggu istri mereka, merampas harta dan barang – barang mereka serta memukuli mereka. Pada suatu kesempatan, para WNI ini kemudian secara bersama – sama mengeroyok, mencekik dan membunuh si WN Pakistan tersebut untuk kemudian dikuburkan di atas salah satu bukit di Makkah dan menutup kuburan tersebut dengan semen.

Vonis Mahkamah Makkah sudah jatuh. Mereka memperoleh vonis qishash (hukuman mati). Jika seandainya perbuatan pembunuhan secara keji ini dilakukan di Indonesia sekalipun, mereka-pun juga terancam hukuman / pidana mati berdasarkan pasal 340 KUHP tentang “pembunuhan dengan sengaja dan berencana” terlepas dari apapun motif yang melatarbelakanginya. Toh hukuman mati dengan cara ditembak oleh 1 (satu) regu tembak belum dihapuskan dan masih dipraktekkan di Indonesia, bukan?

Ibarat hutang nyawa dibayar nyawa, hak khusus untuk memaafkan ada pada pihak keluarga. Artinya, hanya ahli waris korban yang dapat menyelamatkan nyawa mereka dari ujung pedang pancung. Sampai saat ini Pemerintah RI tengah berusaha keras untuk membela mereka, membujuk pihak keluarga dan mengusahakan tanazul (pemaafan) kepada para ahli waris korban. Ibu kandung korban masih belum merelakan dan belum bersedia memaafkan. (ibu kandung manapun mungkin akan sulit menerima kenyataan anaknya yang dilahirkan dengan susah payah dengan ber-sabung nyawa harus mati dibunuh orang lain, se-salah apapun perilaku anaknya tersebut)

Kita berharap semoga Tuhan membukakan hati para ahli waris korban sehingga mereka dapat memperoleh tanazul dan dapat berkumpul kembali dengan keluarganya masing – masing di Indonesia. Hal ini menjadi sebuah contoh kasus nyata betapa setiap jemaah umrah overstayer kita sangat sulit dilindungi dan rentan mendapatkan permasalahan hukum alias rawan hidup di Arab Saudi.

Rawan Mati: kasus WNI eks umrah yang meninggal beda Indentitas

Pada suatu hari di bulan Juli 2008, KJRI Jeddah mendapatkan kiriman seorang jemaah umroh overstayer berusia sekitar 60 tahun-an yang dari data paspornya diketahui bernama Fatima Bt Slamet, kelahiran Bangkalan dan paspor dikeluarkan di Kantor Imigrasi Surabaya. Ybs saat itu baru saja dibuang oleh penampungnya dan diantarkan oleh sesama WNI dari bawah kolong jembatan Kandarrah, Jeddah (yang pada waktu itu menjadi tempat berkumpul bagi para overstayers meminta ditangkap aparat imigrasi Arab Saudi agar di deportasi) dikarenakan kondisi sakit parah dan tengah sekarat. Melalui bantuan polisi Konsulat, pasien tersebut dibawa dengan ambulan dan dirawat inap di RS King Fahd, Jeddah. Tiga hari berselang, Ybs meninggal dunia di RS dan segera dikuburkan di pemakaman umum setempat.

KJRI Jeddah terus berusaha menelusuri identitas asli Ybs untuk keperluan penguburan. Diketahui bahwa nama aslinya adalah Sri Budi Rahayu (SBR), berasal dari Purwodadi-Grobogan, Jawa Tengah. Ybs menurut keluarganya memilih ke Saudi dengan visa umrah dikarenakan umur-nya yang pada waktu itu sudah kepala lima ditolak oleh PJTKI; karena majikan – majikan kebanyakan memilih para TKI yang masih berusia produktif antara 20 – 30 tahun.

Akhirnya masuk ke Saudi pada bulan ramadhan tahun 2006 dengan menggunakan visa umrah dengan harapan dapat ber-umrah sekaligus ber-haji untuk kemudian bekerja secara illegal di Makkah adalah cara yang dia tempuh. Selama 2 tahun lebih bekerja secara illegal, ternyata Ybs hanya sempat mengirimkan uang gajinya sebanyak 1 kali saja ke keluarganya di Purwodadi Grobogan. Sementara sisa uang gajinya selama 2 tahun tersebut diambil oleh sindikat / sponsornya untuk mengganti biaya umrahnya yang mereka klaim sebesar SR. 15.000.

Berdasarkan penelusuran lebih lanjut kepada pihak keluarganya, diperoleh informasi bahwa sponsornya berasal dari daerah bernama kampung Makam, Banyuates, di perbatasan antara Bangkalan – Sampang (Madura bagian utara). Sindikat inilah yang mengatur mulai dari pemalsuan dokumen untuk memperoleh paspor, biaya tiket Ybs dengan visa umrah dan menampung Ybs untuk dipekerjakan secara illegal selama di Arab Saudi. (Jika ada media massa baik cetak maupun elektronik yang berkeinginan untuk melakukan reportase mendalam tentang sindikat ini dipersilahkan).

Dari cerita tersebut, kita bisa membayangkan betapa rawannya seseorang yang menjadi overstayer umrah di Arab Saudi, terlebih lagi saat terbelit oleh sindikat perdagangan orang yang ironisnya ternyata dilakukan oleh sesama WNI. Sri Budi Rahayu masih beruntung sempat diantar ke KJRI sehingga sempat mendapatkan pertolongan dan dirujuk ke RS setempat, dirawat dan memperoleh pemakaman yang layak. Diluar sana, masih banyak SBR-SBR lainnya yang saat menderita sakit parah dan sekarat, oleh penampung illegal-nya hanya ditaruh di pinggir jalan, dibawah jembatan Kandarrah atau dibiarkan meninggal di dalam rumah untuk kemudian dibuang disembarang tempat, termasuk di lingkungan kantor KJRI. Sebagai seorang jemaah umrah overstayer, bahkan hak untuk memperoleh pengurusan pemakaman yang layakpun sangat sulit mereka dapatkan alias rawan mati.

Faktor Pendorong Overstayer

Jadi sebenarnya apa sih yang menjadi faktor penyebab mereka melakukan ritual umrah dan kemudian overstay di Arab Saudi? Khususnya bagi para jamaah umrah – bukan TKI yang kabur dari rumah majikan dan kemudian overstay dan tinggal illegal di Arab Saudi. Minimal ada 3 (tiga) faktor yang bisa kita telaah sebagai berikut:

1)Adat istiadat dan budaya di antara sebagian masyarakat muslim kita yang masih menganggap bahwa melakukan ibadah umrah dan kemudian dilanjutkan dengan berhaji adalah sesuatu hal yang sah – sah saja karena praktek ini telah dilakukan secara turun temurun dari jaman nenek moyang, sejak indonesia masih bernama Hindia – Belanda. Tak heran di beberapa daerah dikenal dengan ritual batimbun/batambun (di Kalimantan Selatan) atau haji wisata (di Jawa Barat).

2)Ingin bekerja secara illegal dikarenakan usia yang telah melebihi dari yang diinginkan oleh para majikan. Kasus SBR di atas menjadi contoh nyata bahwa dikarenakan dirinya ditolak berangkat bekerja secara resmi ke Arab Saudi dikarenakan usianya yang sudah separuh baya, maka dirinya rela berangkat dengan menggunakan visa umrah melalui jaringan “Banyuates’-nya.

3)Faktor kedekatan personal berdasarkan kesukuan plus jaringan berdasarkan persamaan bahasa daerah dan asal daerah yang sudah terbangun secara turun temurun di Arab Saudi. Kasus 5 Banjar tersebut di atas menjadi contoh fenomena overstayer jenis ini.

Bercermin dari kejadian 1997

Pada tahun 1997, kegiatan di kantor KJRI Jeddah lumpuh total selama hampir 3 bulan diduduki oleh sekitar 15 s/d  20-ribuan  WNI overstayer baik eks umrah maupun TKI yang telah kabur dari rumah – rumah majikan dan bekerja secara illegal yang menuntut pemulangan ke Indonesia. Kejadian ini dipicu oleh penerapan pengetatan exit permit oleh pemerintah Saudi, mereka yang akan dipulangkan lewat karantina imigrasi disidik secara lebih teliti.  Selain itu terjadi pengetatan pengawasan dan penindakan terhadap WN Arab Saudi sendiri yang pada waktu itu menyimpan tenaga kerja illegal di rumah mereka masing – masing dengan ancaman hukuman pidana penjara dan denda.

Efek dari penumpukan jumlah overstayer di sekitar lingkungan kantor KJRI Jeddah pada waktu itu: anarkisme massa terjadi, mobil Konsulat dirusak, pegawai KJRI dipukuli, fasilitas kantor seperti kamar mandi dan ruangan kerja berantakan, mobil aparat Polisi Keamanan Diplomatik Arab Saudi dibakar dan salah satu petinggi jenderal polisi Saudi menderita luka akibat lemparan batu. Banyak rumor yang berkembang pada saat itu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan perkantoran dipindahkan ke Wisma kediaman Konsul Jenderal. Pemerintah Indonesia akhirnya men-carter pesawat Garuda dan hercules untuk memulangkan mereka. Hutang biaya pemulangan tersebut kepada Garuda konon baru lunas dicicil pemerintah di tahun 2003.

Apakah kita ingin kejadian anarkis yang sangat memprihatinkan semacam itu (kalau tidak mau dikatakan memalukan) akan terulang kembali di masa yang akan datang?

Fenomena Baru: Pemulangan dengan Penerbangan Haji

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama dari pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik, dalam 3 hari sejak tanggal 30 Oktober 2011, Pemerintah RI melalui KJRI Jeddah telah memulangkan para WNI baik eks TKI maupun jamaah Umrah Overstayers sebanyak 1.572 orang dengan menggunakan 5 kloter pesawat haji terakhir sebelum iedul adha. Pemulangan dengan menggunakan pesawat haji ini adalah realisasi dari kesepakatan perundingan antara pemerintah RI dan Arab Saudi yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 4 Oktober 2011 yang lalu.

Mereka terdiri dari 1.504 orang pria dan wanita dewasa, 26 orang anak – anak dan 42 orang bayi. Kloter pertama yang diberangkatkan pada tanggal 30 Oktober 2011 diisi oleh penumpang sebanyak 351 orang. Pada tanggal 31 Oktober 2011 diberangkatkan sebanyak 1.121 orang dengan menggunakan 3 kloter, dan terakhir pada tanggal 1 Oktober 2011 sebanyak 200 orang WNI. Pemerintah RI membiayai konsumsi dan mengeluarkan SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor) bagi mereka yang tidak memiliki paspor. Alhamdulillah, ya! Sesuatu sekali.

PR Bagi Pemerintah Pusat

Sudah saatnya bagi pemerintah RI untuk memperhatikan penyelenggaraan ibadah umrah dengan lebih serius baik dari segi pengaturannya maupun sanksi pidananya. Berkaca dari pemulangan para jamaah umrah dari Saudi ke Indonesia, dimana dalam satu tahun belakangan ini mereka para overstayer dipulangkan baik dengan KM Labobar (23 – 24 April 2011) maupun memanfaatkan penerbangan kloter terakhir selama musim haji tahun 2011 ini, keduanya cukup menyedot anggaran pemerintah yang sebenarnya uang dari rakyat Indonesia juga yang dikumpulkan dari pajak yang kita bayarkan sehari - hari (pph, ppn, pajak makan di restoran dll) dan PNBP lainnya.

Kecenderungan pemerintah Arab Saudi akhir – akhir ini adalah “memaksa” pemerintah masing – masing negara bertanggung jawab melakukan repatriasi (pemulangan) dengan biaya masing – masing. Sudah tidak ada lagi istilah dipulangkan secara gratis oleh pemerintah Saudi, setidaknya dalam 1 tahun belakangan ini. Trend ini akan berkembang semakin ketat di masa yang akan datang. Mereka pun melakukan langkah preventif dengan mengenakan sidik jari guna mencegah para overstayers kembali ke Saudi minimal untuk masa 5 tahun. Hal ini diterapkan ke semua overstay baik dari Asia Tenggara (Indonesia dan Filipina), Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh, Srilanka dan Afghanistan), Afrika dan negara lainnya.

Sungguh disesalkan jika sumber daya, biaya dan tenaga Pemerintah (dan uang pajak yang kita bayarkan) terkuras habis hanya untuk memulangkan mereka saudara - saudara kita yang "nakal", dengan sengaja dan tidak bertanggungjawab melanggar hukum dengan menyalahgunakan visa umrah mereka dan melaksanakan ibadah haji secara illegal.

Sosialisasi ke daerah / propinsi kantong – kantor overstayer antara lain NTB, Jawa Timur dan Kalimantan Selatan bekerjasama dengan pemerintah daerah dan radio – radio setempat sudah sangat sering dilakukan. Namun kesemuanya itu seolah masih jauh dari cukup dan menjangkau pelosok kantong – kantong overstayers. Penyadaran dari ulama dan tokoh agama setempat menjadi sangatlah penting.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah menegakkan hukum dan peraturan perundangan serta sanksi pidana yang tegas di tanah air yang lebih tegas dan keras terhadap para biro penyelenggara umrah nakal dari Indonesia dan jaringan perdagangan manusia serta penerapan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang agar UU tersebut semakin memiliki “gigi dan taring” di masyarakat.

Terlebih lagi penerapan moratorium pengiriman TKW ke Arab Saudi saat ini memang membuka peluang bagi masuknya tenaga kerja illegal dengan menggunakan modus umrah sandal jepit. Hukum ekonomi tentunya akan bekerja bahwa dimana ada demand kebutuhan TKW yang sangat tinggi sementara supply yang tersedia sangat minim, maka harga tenaga kerja informal illegal semakin meroket dan meningkat tajam. Keuntungan yang dikeruk oleh sindikat umrah overstayer inipun semakin besar. Jadi (mungkin) penegakkan hukum / peraturan perundang-undangan dan pendekatan secara sosio-kultural-religi kepada masyarakat kantong – kantong overstayer menjadi kunci bagi penyelesaian permasalahan umrah overstayers.

PR yang lebih penting lagi bagi pemerintah pusat di Jakarta adalah untuk memperbaiki mekanisme pengiriman jemaah umrah dari Indonesia untuk menghindari ekses negatif sebagai overstay di Arab Saudi. Bagaimana caranya agar sebagaimana jamaah haji dimana berangkat 100 dan pulangnya juga 100, - kalaupun kembali hanya 98 orang biasanya karena yang 2 itu meninggal selama melaksanakan ibadah haji dan dimakamkan baik di Jeddah, Makkah dan Madinah; bukannya malah kabur – maka mekanisme ini juga harus bisa diterapkan bagi para jamaah umrah.

Kewajiban dan Himbauan bagi para WNI Mukimin di Saudi

Sungguh sangat disayangkan jika citra dan nama baik WNI di Saudi “tercoreng” dengan tingkah polah saudara kita para jemaah umrah overstayer nakal. Patut disesalkan dan kurang bijak rasanya jika kita sendiri sebagai masyarakat Indonesia di Arab Saudi bersikap seolah tidak peduli dengan berbagai kesulitan yang dihadapi pemerintah dan bahkan seringkali menyalahkan Perwakilan RI dalam penanganan para WNI umrah overstayer tanpa mau melihat akar permasalahan dan faktor penyebab terjadinya fenomena ini yang sebenarnya. Pemerintah RI akhirnya tersandera oleh isu pemulangan WNI umrah overstayer ini.

Adalah kewajiban kita untuk memberikan getok tular informasi kepada sesama mukimin maupun kepada para sanak saudara di Indonesia tentang bahaya praktek umrah sandal jepit, tentang kerawanan hidup maupun mati yang akan mereka hadapi selama di Arab Saudi. Terlebih lagi, kita perlu menghimbau kepada sanak saudara kita di Indonesia untuk mentaati peraturan keimigrasian dalam rangka melaksanakan ibadah umrah di Arab Saudi.

Hentikanlah pemikiran ataupun niat dan bahkan keinginan para kerabat dan handai taulan kita untuk datang dari Indonesia ke Arab Saudi dengan visa umrah, melanjutkan bekerja secara illegal, berharap dapat berhaji pada tahun itu dan akan dipulangkan secara gratis ke Indonesia melalui karantina imigrasi karena praktek semacam itu sangat rawan hidup dan bahkan rawan mati.

Sejatinya, adalah kewajiban bagi kita sebagai sesama WNI mukimin di Saudi untuk menjaga citra dan nama baik sebagai bangsa Indonesia pada umumnya dan para WNI/TKI pada khususnya dimanapun kita berada, dalam di mata pemerintah dan masyarakat Arab Saudi. Bersama kita bisa, semoga.

#Tulisan mewakili pendapat pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun