“Dalam perjalannya, tembakau identik dengan daun emas. Kenapa? Sebab dengan daun rokok, bisa ditukar dengan kepingan emas. Sebentar lagi, daun emas ini akan naik tahta, dari harga 20 ribu menjadi 50 ribu, melonjak signifikan bukan? Tapi pertanyaannya bukan seputar harga, tetapi masihkan petani tembakau malarat?? “
TAK ada padamnya negeri ini didera polemik. Usai Archandra Tahar diturunkan dan akan dinaikkan kembali, kini daun emas pun unjuk gigi, usai Ade Komarudin, Ketua DPR RI melancarakan argumennya untuk menaikkan harga rokok, dengan alasan kesehatan nasional. Ya, tak dapat dipungkiri, sampai saat ini dampak negative-positif rokok masih di bangku perdebatan. Ada yang bilang merugikan dan adapula yang mengatakan menyehatkan.
Bicara kesehatan, rokok sejatinya menghancurkan alveoluse jantung, sehingga menyebabkan perokok mudah dengan gampang diserang penyakit. Ketika mudah terserang penyakit, maka yang jelas akan berdampak pada situasi daya imunitas tubuh (melemah). Kiranya itu yang melandasi kenapa harga rokok harus dinaikkan, yang salah satu tujuannya adalah untuk membangun bangsa dalam dunia kesehatan.
Namun, ada hal yang tak begitu penting dibahas dalam tubuh rokok adalah ketika rokok dikaitkan dalam subtansi keagamaan yakni haram-halal. Pembahasan tersebut membuang-buang waktu, sebab tidak akan menemukan titik kesimpulan nasional, berada dititik haramkah atau halal. Justru jauh lebih penting jika rokok tersebut dikaitkan dengan ekonomi nasional. Harga rokok yang saat ini, sudah cukup membuat rakyat melarat, sebab harga di atas tidak relevan dengan harga rokok yang dibeli dari petani. Al hasil, merugi.
Usulan Ade tersebut, bisa saja membuat rakyat tersenyum. Sebab dengan begitu, kehidupan ekonomi masyarakat tembakau akan jauh lebih baik, jauh dari sebelumnya. Lalu benarkah kenaikan harga tersebut benar-benar menjadi pelampung ekonomi masyarakat? kita tunggu saja ketok palunya.
Usulan naiknya harga rokok tidak disambut bahagia oleh para petani tembakau, justru sebaliknya mereka terharu hening mendengar usulan ketua DPR RI tersebut. Pasalnya penentu harga bukan semata-mata ditangan petani, melainkan penguasa. Madura misalkan, meski menghasilkan daun tembakau yang sempurna, namun harga pun masih dari jangkauan sempurna. Usulan tersebut bisa saja membuat masyarakat tersenyum, jika pemerintah bisa memberikan garansi untuk ketahanan ekonomi nasional, tidak berpihak pada oknum. Lihat saja harga tebu, seberapa melejitnya harga gula dipasaran tidak berdampak signifikan bagi petani tebu. Ditengah harga gula yang melambung tinggi, mereka malah kekurangan sandang pangan.
Sebenarnya, harga rokok yang direncakan naik menjadi 50 ribu per pack, di negara sebelah sudah menerapkan pearturan tersebut sebalum Ade mempunyai inisiatif untuk menaikkan harga rokok. Sudah ketinggalan jauh. Sebut saja di Thailand, harga rokok di negeri gajah tersebut jika dikurskan ke rupiah kisaran harga Rp 52 ribu rupiah. Selain tidak mengundang senyuman dari petani tembakau, juga tidak mendapat respon positf dari pabrik rokok. Sampoerna misalkan, menolak usulan tersebut , sebab akan berpengaruh pada tingkat pendapatan. Â ---------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H