Mohon tunggu...
Kacong Tarbuka
Kacong Tarbuka Mohon Tunggu... Media -

Hidup di tengah masyarakat agamis-kontekstualis membuat saya harus banyak belajar pada realitas. Terlalu banyak orang yang gampang mengkafirkan sesama, dan jarang orang yang bisa mengakui kesalahan, khususnya dalam perjalanan beragama. Mencari ketenangan dengan menulis, berkarya, serta mengangkat ketimpangan sosial menjadi bermartabat. Salam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Full Day School, Cenderung Membuat Anak Stres

13 Agustus 2016   10:54 Diperbarui: 13 Agustus 2016   11:05 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

“Full Day School (FDS)” yang disampaikan oleh Muhadjir Efendi, Mendikbud, beberapa waktu lalu menuai pro dan kontra. Sebab sekolah yang dikemas sepanjang hari tersebut bisa mengakibatkan anak stress dan waktu bermain berkurang. Selain merenggut dunia bermain anak-anak, juga membutuhkan cost yang tinggi. Wacana tersebut selain diamanatkan pada Nawa Cita visi presiden, juga agar para siswa lebih fokus belajar, jauh dari pergaulan bebas, hingga mengkonsumsi narkoba.

WACANA tersebut tidak sepenuhnya salah. Sebab, FDS adakalahnya menjadi pintu utama bagi keluarga karir, dan juga menjadi pintu yang paling jelek bagi tumbuh kembang anak, khususnya anak-anak yang masih mengenyam di pendidikan dasar alias Sekolah Dasar (SD). Harusnya, sebelum menelurkan program ini Mendikbud harus mengadakan studi kasus dulu, sebab FDS tersebut tidak diperuntukkan untuk khalayak umum

Dalam pengakuanya, seperti yang diberitakan di Kompas pada, Kamis (11/8/2015) Mendikbud tetap merealisasikan wacana tersebut, namun mengenai teknisnya belakangan. Seolah-olah ia berkata layaknya rektor yang bisa merealisasikan kebijakan setiap waktu, dan ia lupa bahwa saat ia menjadi “bapak pendidikan” rakyat Indonesia.

Makanya kemudian, wacana yang diusung oleh  Mendikbud menjadi “bulan-bulanan” dikalangan pengamat pendidikan. Ada yang mengatakan FDS akan digagas oleh Mendkbud merupakan satu solusi ditengah degradasi moral, dan ada juga yang mengatakan FDS tersebut menyalahi konsep pendidikan seperti yang ditelurkan oleh Ki Hajar Dewantara.

Prof Daniel Rosyid, Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh (ITS) November Surabaya mengungkapkan, mengungkapkan FDS hanya akan menjadikan siswa tidak terampil dalam segala bidang, khususnya dalam tatanan sosial. Sekolah seharian penuh tersebut selain menyita ruang permainan anak, juga menyalahi konsep yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Bagaimana? Ki Hajar Dewantara dalam konsep pendidikannnya menawarkan, pendidikan pertama adalah keluarga, kedua masyarakat, dan yang ketiga baru sekolah. FDS tersbut justru berbahaya jika diterapkan untuk anak Sekolah Dasar (SD). Semakin rendah tingkat akademik siswa, ia diharuskan untuk lebih banyak dipelukan orang tua. 

FDS jika diterapkan secara menyeluruh, kata dia, tidak pas. Pertama dari segi oprasional. Artinya, masih banyak sekolah yang belum mampu menjalankan FDS tersebut. Dan yang kedua dari segi kosep, yang telah menyalahi konsep Ki Hajar Dewantara.  Jika peran sekolah sudah mengalahkan peran orang tua, maka jelas output nya nanti akan bermasalah. Ambil contoh, berapa banyak orang yang cerdas secara intelektual, tapi kerjaannya hanya menghabiskan uang negara, nepotisme dan kolutif. Belum lagi pedesaan, yang secara sarana dan prasarana tidak memadai.  

Dalam konsep pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan anak, maka juga harus lebih lama dari sekolah. Tetapi lamanya tersebut, bukan berarti harus dengan FDS. Misalnya mengadakan penelitian, observasi, dan kegiatan yang bersinggungan lansung dengan masyarakat.  Sebab, kepekaan sosial bukan didapat dibangku sekolah, tetapi didapatkan masyarakat.

Dalam psikologi tumbuh kembang anak, anak yang teralalu lama dibalik dinding sekolah akan menjadikan otaknya lemah, dan tingkat rasa sosialnya berkurang. Mengapa? Anak-anak yang harusnya belajar dengan orang tua dan masyarakat, malah menghabiskan waktunya di Sekolah.

Untuk itu, perlu kajian analisis yang mendalam untuk menjadikan FDS sebagai patokan dasar pendidikan Indonesia. Banyak aspe yang perlu diselesaikan, mulai dari ruang, tata kelola, hingga metode yang diajarkan. Jika tidak, FDS hanya akan menjadi pemicu bobroknya nilai pendidikan di Indonesia. Salam ---

*) Aktivis PMII UIN Sunan Ampel Surabaya dan aktif sebagai jurnalis

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun