Sedikit cerita dilapangan dalam kaitan pekerjaan saya sebagai seorang manager kasus kepada anak-anak yang terdampak virus HIV-AIDS.
Menjadi seorang jagoan, itulah cita-cita kecil dari anak pra-remaja yang saya dampingi saat ini. Sebut saja namanya Agus yang tahun depan genap berusia 12 tahun. Agus saat ini duduk di kelas 6 SD pada sebuah sekolah negri yang tidak jauh dari rumahnya.
Virus yang bercokol pada tubuhnya tidak mengganggu aktifitas kesehariannya. Bangun jam 10 pagi untuk minum obat ARV (anti-retroviral) kemudian dia lanjutkan dengan pergi bermain bersama teman-temanya. Kalau tidak ke warnet, pergi main bola atau menjadi “timer” untuk kendaraan omprengan yang suka mangkal di depan gangnya.
Pulang jam 11-an kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah. Pulang jam 5 sore dan lanjut kembali bermain warnet atau sekedar nongkrong bersama teman-teman yang lebih dewasa dari umurnya. Jam 10 malam dia baru pulang untuk minum obat ARV-nya (itupun kadang harus dicari dulu). Yah….itulah keseharian dari Agus, anak pra-remaja yang tidak tahu bahwa dalam dirinya ada virus yang sewaktu-waktu bisa merusak sistem kekebalan tubuhnya, bila dia tidak menjaga pola hidupnya
Sebagai pendamping, kami sudah melakukan berbagai upaya untuk melakukan pengawasan tentang kepatuhan minum obat dan juga pemantauan untuk kesehatannya. Namun kami tidak bisa 24 jam ada di sampingnya. Semua urusan tentang pola pengasuhan ada di dalam otoritas pengasuhnya, dalam hal ini sang nenek.
Agus, bungsu dari 2 bersaudara ini tidak lagi memiliki orangtua. Kedua orangtuanya telah menghadap Yang Maha Kuasa terlebih dahulu akibat virus HIV-AIDS yang merusak sistem kekebalan tubuh mereka. Kini Agus diasuh oleh neneknya. Kakak perempuannya duduk di kelas 2 SMP.
Yang menjadi perhatian dari kami saat ini adalah sebuah pernyataan yang keluar dari mulutnya ketika kami bertanya tentang kelanjutan studinya. Mau dimana SMP nya? Dia menjawab nama sebuah sekolah negri yang jaraknya agak lumayan jauh dari rumahnya. Kemudian kami bertanya, kenapa mau sekolah disana? Karena disana suka TAWURAN. Jegerrrr……
Jawaban itu membuat saya diam untuk sesaat. Memangnya kamu mau ikut tawuran? Lanjut saya. Iya, jawabnya lugas dan mantap. Kenapa? Biar dianggep (ditakutin) sama yang lain. Waduh…. Anak ini sudah punya gambaran akan seperti apa dia di sekolah barunya nanti, gumam saya dalam hati. Kemudian saya gantikan arah pembicaraan dan berdiskusi tentang yang lain.
Sepulang dari sana, saya diskusikan itu dengan rekan-rekan yang lain. Dan sekarang ini menjadi fokus utama kami. Kami tidak ingin Agus menjadi remaja nakal yang akan wara-wiri di jalanan dengan membawa ikat pinggang berkepala gear motor atau berteriak kepada anak sekolah lain sambil melempar batu atau membawa senjata tajam.
Kami berharap Agus bisa menjadi pribadi yang menarik dengan segala kemampuan atau talenta yang dimiliki walau didalam dirinya terkandung virus mematikan yang sampai sekarang belum ada obat penyembuhnya. Semoga saja pendampingan yang kami lakukan tidak akan menjadi sia-sia demi kehidupannya kelak.
Salam….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H