Mohon tunggu...
Rudi Mulia
Rudi Mulia Mohon Tunggu... Konsultan - Konselor

salah satu Co-founder Komunitas Love Borneo yang mendirikan rumah baca di pedalaman Kalimantan Barat. saat ini sudah ada 16 rumah baca dan akan terus bertambah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tantangan Anak yang Hidup dengan HIV-AIDS

9 April 2015   17:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:19 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut data Kementerian Kesehatan RI, dari 2010 ke 2013 persentase infeksi HIV pada orang dewasa yang berusia 20-49 tahun berkisar pada 86% ke 88.5%. Namun, dalam periode waktu yang sama, jumlah anak dengan HIV berusia 0-14 tahun telah meningkat sebesar 328% dari 795 menjadi 3408.

Program Lentera Anak Pelangi (LAP) yang berada di bawah pusat penelitian HIV Atmajaya, saat ini melakukan dampingan kepada anak yang hidup dengan HIV-AIDS. Dampingan yang diberikan berupa kunjungan rumah, advokasi, serta pemberian susu dan vitamin bagi perkembangan nutrisi mereka.

Ada 76 anak dampingan yang saat ini menerima manfaat dari program LAP. Hampir sebagian besar dari anak-anak dampingan LAP tidak lagi memiliki orangtua utuh. Orangtua mereka banyak yang telah meninggal ketika usia mereka masih kecil. Cakupan umur dampingan LAP mulai dari 0-12 tahun

Saya yang sudah terlibat dalam program ini selama 4 tahun, melihat bahwa tidak mudah bagi anak-anak dampingan kami untuk menjalani keseharian hidup mereka. Begitu banyak tantangan yang harus mereka hadapi setiap hari hanya demi untuk bertahan hidup. Salah satu tantangan itu adalah mengkonsumsi obat Anti Retroviral (ARV) 2x sehari dan dilakukan setiap hari.

Ada yang mulai bosan, ada yang mulai mengeluh, ada yang mulai bertanya-tanya kenapa harus minum obat ARV setiap hari. Para pengasuh anak-anak ini, entah paman-bibi, kakek-nenek, atau orangtua angkat selalu mencari alasan yang bisa dimengerti anak-anak ini tanpa harus membuka status mereka. Banyak para pengasuh yang belum berani untuk membuka status anak-anak ini karena takut anak-anak ini akan mendapatkan perilaku stigma dan diskriminasi.

Beberapa contoh yang pernah ditangani oleh LAP adalah ketika ada anak yang diminta keluar dari sekolah karena status HIV mereka. Ada juga yang dipisahkan alat-alat makan, mandi, pakaian dan perabotan yang dipakai oleh anak tersebut oleh keluarganya sendiri. Bahkan ada yang pernah diusir dari rumah karena status HIV anak tersebut.

Sedih rasanya melihat perlakuan yang diterima oleh anak-anak ini. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa virus HIV hanya bisa tertular melalui Air susu ibu (ASI), hubungan seks beresiko, transfusi darah, atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Dan dari cara-cara penularan yang saya sebut di atas, rasanya mustahil bagi seorang anak untuk bisa menularkan virus HIV kepada orang lain

Bila dikemudian hari, anak dari teman-teman pembaca berteman dengan anak yang hidup dengan HIV-AIDS, tolong jangan larang anak anda bermain dengan mereka. Biarkan mereka bermain dan berteman seperti anak-anak pada umumnya. Mereka butuh dukungan bukan sikap permusuhan. Mereka butuh teman bukan lawan. Dengan memberikan dukungan kepada anak-anak ini, maka mereka akan tumbuh bahagia tanpa merasa takut dihakimi atau merasa dikucilkan dari masyarakat.

Jauhi virusnya, bukan orangnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun