Saya ada pengalaman menjadi guru private bersama pasangan saya untuk beberapa anak. Kira-kira hampir setahun kami menjalani pekerjaan ini. Anak-anak ini berasal dari keluarga menengah ke atas. Uang les private tersebut cukuplah untuk kegiatan bulanan. Yang sangat menarik dari pekerjaan ini adalah kami (saya dan pasangan) diberi hak "khusus" seperti lazimnya orangtua untuk mendidik anak mereka. Kami bisa mengomeli mereka, bisa menghukum mereka (hukum disini bukan fisik, tapi tugas tambahan) dan lain-lain. Intinya orangtua mereka tidak mau ambil pusing untuk masalah pendidikan mereka. Semua diserahkan kepada kami. Bahkan kalau ada nilai jelek itu tidak menjadi masalah buat orangtua. Yang mereka tahu bahwa kami mengajar dan mereka belajar.
Kondisi seperti di atas saya rasa hampir dialami oleh banyak keluarga jaman sekarang. Orangtua merasa bahwa tugas mereka adalah kerja keras berpikir cari uang banyak sampai malam untuk investasi pendidikan anak waktu kuliah, kerja keras untuk mendapat sekolah yang bagus dan punya fasilitas yang mengikuti zaman, kerja keras sampai anak-anak tidak diperhatikan dengan baik untuk masalah pribadinya. Anak-anak dimasukan les ini les itu yang belum tentu itu sesuai dengan bakat dan bidang anak. Malahan anak-anak disuruh private ini-itu hanya untuk jaga gengsi orangtua bahwa anaknya bisa melakukan banyak hal.
Makanya menjadi tidak aneh jika ada orangtua yang bisanya marah-marah kepada guru jika anaknya ternyata tidak naik kelas, padahal sudah bayar mahal-mahal dan ikut banyak les private. Tidak aneh jika ada orang tua yang ngotot bahwa anaknya harus masuk sekolah favorit padahal kemampuan anaknya terbatas. Tidak aneh juga jika banyak orangtua yang merasa mengenal / mengerti anaknya padahal dia tidak pernah tahu karena tidak melihat pertumbuhan anaknya di usia Golden Period karena sibuk dengan pekerjaan. Juga tidak aneh jika ada orangtua yang memberikan anaknya ke tangan “orang lain” (suster, guru les, guru musik, dan lain-lain) dan membiarkan kesempatan penting untuk mengukir kepribadian hati anaknya. Mereka memilih hak "pengasuhan" tersebut jatuh ke tangan orang lain. Sungguh sayang sekali.
Lalu muncul pertanyaan ini: Apakah Anak mereka pintar karena mereka punya uang dan fasilitas untuk membuat anak pintar atau membayar orang lain agar menjadikan anaknya pintar, atau anak mereka pintar karena mereka mengajarnya dan ada tepat pada waktu mereka memang harus ada di masanya untuk menjadikannya di kemudian hari anak yang pintar (?)
Makanya komentar orangtua buat anak selalu ada, contohnya seperti ini “Kamu ini bagaimana sih, Mama sama Papa cape, kerja keras cari uang untuk kamu bisa sekolah. Supaya kamu bisa les piano, les Fisika, les Matematika, les Inggris, dan les gambar. Tapi kalo nilainya seperti ini kan sayang, sia-sia! Bagi waktunya sih kamu nggak benar, banyakan mainnya, playstation, ke mall, internet lah, pelajaran begini aja kamu nggak bisa.” Dan seterusnya.
Jadi yang salah siapa neh. Orangtuanya, guru lesnya, atau anaknya?
Sumber:
Modul Pelatihan Menjadi Ayah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H