Mohon tunggu...
Rudi Mulia
Rudi Mulia Mohon Tunggu... Konsultan - Konselor

salah satu Co-founder Komunitas Love Borneo yang mendirikan rumah baca di pedalaman Kalimantan Barat. saat ini sudah ada 16 rumah baca dan akan terus bertambah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mari Belajar Tentang Filosofi Sumpit

27 Juli 2011   08:59 Diperbarui: 4 April 2017   18:31 2933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu ketika menghadiri pesta pernikahan teman, saya mendapatkan sebuah souvenir yang cantik berupa sumpit kayu dengan ukiran nama kedua mempelai di atasnya. Mungkin anda juga pernah mendapatkan souvenir yang sama dengan saya. Tergoda dalam diri saya untuk mencari tahu, kenapa sumpit ‘bisa’ dijadikan souvenir untuk pernikahan. Pasti ada filosofinya. Dan ternyata begitu mencari tahu di internet, ada begitu banyak filosofi yang bisa diambil dari sepasang sumpit, khususnya dalam filosofi yang berkaitan dengan rumah tangga. Tetapi menurut saya filosofi sumpit tidak hanya diperuntukan untuk rumah tangga saja antara suami dan istri, tetapi bisa juga digambarkan untuk unsur-unsur kehidupan bermasyarakat seperti, presiden dan rakyat, majikan dan karyawan, tua dan muda, atasan dan bawahan dan seterusnya.

Asal muasal dan pemakaian sumpit

Sumpit sudah dikenal di Tiongkok sejak 3.000 hingga 5.000 tahun yang lalu. Sebutan untuk sumpit adalah fai ji, yang secara harafiah berarti bocah-bocah gesit dan tangkas Penggunaan sumpit dikembangkan oleh Confusius (551-479 BC) sejalan dengan perkembangan ajaran Confusius. Orang-orang Tionghoa yang waktu itu menganut Konghucu, menganggap penggunaan sendok dan garpu adalah semacam kekejaman, bagaikan senjata dingin. Di dalam masyarakat Tionghoa, makan bersama dianggap sebagai sarana mempererat tali persaudaraan dan kesempatan berkumpul dengan sanak keluarga dan teman-teman, sehingga penggunaan alat makan yang tajam harus dihindari. Oleh karena itu mereka lebih memilih menggunakan sumpit.

Dalam budaya Tionghoa sendiri ada begitu banyak aturan dalam pengguanan sumpit. Ada etiket dan tata krama. Misalnya, waktu menggunakan sumpit tidak boleh jatuh karena dianggap sial.Tidak boleh menancapkan sumpit ke dalam makanan karena dianggap sedang sembahyang untuk orang mati. Waktu makansumpit tidak boleh dipakai untuk menunjuk suatu makanan di meja atau menunjuk apa pun. Sumpit tidak boleh dipakai untuk mengetuk-ngetuk piring, mangkok, atau meja. Selama bersantap, sumpit tidak boleh terlepas dari tangan. Setelah selesai bersantap, sumpit tidak boleh diletakkan di atas meja, melainkan harus di atas tatakannya atau di atas mangkuk, dan kedua batangnya diletakkan secara pararel. Itulah aturan mainnya.

Filosofi Sumpit

Seperti yang kita ketahui sepasang sumpit harus setara. Kedua batang sumpit harus sama panjangnya dan sama besarnya. Menurut kelaziman, panjangnya 20 cm dan berbentuk segi empat pada bagian atas dan lingkaran agak tumpul pada bagian bawah dengan diameter 0,5 cm. Kalau tidak setara, sumpit susah digunakan. Sumpit dianggap sebagai lambang kesetaraan, harmoni, dan kerja sama, sebab bukankah sumpit hanya bisa dipakai jika terdiri dari dua batang?

Sekarang saya gambarkan sumpit ke dalam realitas hidup bersosial. Masyarakat dimanapun kita berada selalu bersifat majemuk karena unsurnya terdiri lebih dari satu himpunan/kumpulan/budaya/sifat. Roda kehidupan berfungsi dengan baik jika semua himpunan bersifat seperti sumpit, yaitu setara dan dapat bekerja sama secara harmonis. Setiap individu, suku bangsa dan agama-agama bisa eksis sebelah-menyebelah bila mau setara dan bekerja sama secara harmonis.

Untuk dapat mempergunakan sumpit dengan baik, tidak cukup hanya bersama, setara, tetapi juga harus bergerak dalam sebuah harmoni. Jika tidak ada gerakan yang selaras, sumpit itu tidak akan berguna apa-apa.Begitu juga dalam berumahtangga, bermasyarakat, berusaha dan bernegara. Tidak ada yang bisa berjalan untuk tujuan sendiri, tapi ada satu tujuan yang bersama-sama hendak dicapai, dalam satu visidan satu misi. Bila tidak bergerak secara harmoni, apa yang terjadi? Tentu selanjutnya akan bisa ditebak ke mana itu akan berakhir

Kemudian sumpit juga melambangkan kerja sama. Tidak mungkin sumpit bisa menjepit makanan bila salah satu di antaranya bertindak berlebihan, mendominasi atau mengabaikan yang lain. Kedua sumpit harus bersatu, bekerja sama dan saling membantu.

Jiwa filosofi dari sumpit tentang kesetaraan, harmoni, dan kerja sama merupakan syarat untuk survive. Bayangkan apa jadinya jika dalam suatu rumah tangga suami-istri daling saling memusuhi. Mana bisa rumah tangga itu akan awet dan bahagia? Begitu juga dalam suatu negara, etnik yang satu membenci etnik yang lain, agama yang satu mencurigai agama yang lain. Mana bisa negara itu bertahan? Sepasang sumpit merupakan lambang perlunya kesetaraan, harmoni, dan kerja sama dalam lembaga apa pun, mulai dari keluarga sampai negara dan bangsa.

Itulah falsafah di balik sumpit. Tidak soal apakah sumpit itu terbuat dari bambu, mahoni, cendana, cemara, perak, perunggu, batu akik atau gading, yang pasti falsafahnya sama. Tetapi kebanyakan orang makan tanpa menyadari falsafah itu. Bahkan banyak pula orang yang tidak mengetahui tata krama penggunaan sumpit.Sumpit yang tampak begitu lumrah, ternyata mempunyai falsafah dan sejarah.

Semoga bermanfaat


Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun