Mohon tunggu...
Kacang Ijo
Kacang Ijo Mohon Tunggu... -

Pasukan Kacang Ijo

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kami Anti Ketidakadilan, Bukan Anti Kebhinnekaan

22 Februari 2017   19:40 Diperbarui: 26 Februari 2017   14:00 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seketika saya berpikir tentang hiruk-pikuk,riuh rendah menyaksikan dengan cemas kondisi kebangsaan saat ini. Terlalu banyak tafsir atau pendapat yang berbicara tentang keadaan ini. Isu kebhinekaan yang selalu menguap ke udara dan jagat lini masa arus utama begitu liar namun exclusiv karena menganggap kebhinekaan hanya milik sekelompok yang setuju dengan mereka. Kebhinekaan hanya diartikan secara sempit dan teramat sangat dangkal karena keegoisan exclusif yang selalu menganggap tafsir kebhinekaan yang sah adalah milik mereka.

Indonesia dengan kebhinekaannya yang begitu unik, indah tidak boleh menampung hanya satu definisi tentang kebhinekaan. Para guru bangsa yang dahulu memikirkan Indonesia betul-betul tidak pernah mempermasalahkan kebhinekaan kita, justru memperkuat kebhinekaan itu sendiri. 

Ki Bagus Hadi Kusumo dan tokoh Islam lainnya saat itu begitu berbesar hati terhadap gagasan dasar ideologi negara bukan berdasarkan Islam, sesuai mayoritas rakyat Indonesia, tapi Pancasila. Perumus Pancasila dari golongan Islam pun tidak bersikeras terhadap pasal pertama Pancasila sesuai piagam Jakarta yang berbunyi: Ketuhanan dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemelukpemeluknya.  

Banyak yang beranggapan suasana saat ini yang mulai naik kearah tensi tinggi dengan hilangnya rasa atau pandangan terhadap kebhinekaan, tentu hal tidak serta merta sebuah kebenaran. Coba kita telusuri kembali apakah benar rasa kebhinekaan itu sudah hilang?. Dari sejarah piagam Jakarta kita sudah mengetahui bagaimana kebesaran hati para guru bangsa dari golongan Islam dengan legawa menghapus tujuh kata di sila pertama. Tidak ada riak kekesalan dari para Guru Bangsa tersebut.

 Bisa dibayangkan jika para Guru Bangsa tersebut kesal? Coba cermati anggota BPUPKI seperti Kiai Haji Mas Mansur Tokoh Masyumi, Ki Bagus Hadikusumo yang juga Ketua Muhammadiyah saat itu, serta Kiai Haji Wahid Hasyim tokoh NU yang sangat berpengaruh bisa saja tidak menyetujui pencabutan 7 kata di Piagam Jakarta tersebut. Kita sudah mengetahui Muhammadiyah dan NU sudah berdiri jauh sebelum perumusan kemerdekaan bahkan sebelum sumpah pemuda diucapkan pada tahun 1928.  

Lalu kenapa isu kebhinekaan selalu mengemuka? Ketidakadilan,ya rasa ketidakadilan yang saat ini semakin vulgar dipertontonkan mungkin sengaja membuka diri. Kebhinekaan selalu di keluarkan ke permukaan untuk mencoba menutupi ketidakadilan. Jika merunut sejenak ketegangan Politik saat ini berawal dari ketidakadilan yang dirasakan oleh sebagian pihak. Lebih spesifik Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok sebagai Gubernur Jakarta yang

dianggap sebagian pihak seseorang yang unthouchable dari hukum karena ada beberapa kasus menyebut namanya bahkan dua kasus seperti Rumah Sakit Sumber Waras dan Reklamasi Teluk Jakarta sering dikaitkan dengan Ahok. Dalam kasus Sumber Waras lembaga audit negara BPK sudah mengeluarkan laporan auditnya yang menyebut bahwa Gubernur DKI Jakarta tersebut bersalah. Kasus Reklamasi berbeda lagi, begitu lebih berisik tak tanggung Ahok berseteru dengan Kabinet Presiden Joko Widodo diantaranya Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Koordinator Bidang Maritim yang meminta Reklamasi dihentikan, tapi yang terjadi sang Menko justru kena kocok ulang, entah karena perseteruan terkait reklamasi atau bukan.  

Front Pembela Islam (FPI) adalah pihak yang sering menyuarakan penolakan terhadap Ahok, bahkan saat Ahok dilantik menggantikan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta FPI pula menunjuk Gubernur tandingan di DKI Jakarta. Pada saat itu banyak pihak yang nyinyir dan tidak mendukung sikap FPI tersebut karena penolakannya berdasarkan Agama dan Ras yang tidak sesuai dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, melanggar ideologi Pancasila dan tentunya tidak sesuai undangundang, terlebih dalam menyampaikan sikap sering anarkis.

 Sikap FPI perlahan menemukan momentumnya, mereka menolak tidak hanya terpaku pada masalah yang dianggap orang anti kebhinnekaan, seperti masalah Sumber Waras, Reklamasi, penggusuran, terlebih penggusuran untuk reklamasi yang mulai mendapatkan pujian dari sebagian masyarakat. Puncak momentumnya adalah tentang Al maidah ayat 51 yang dirasa telah melecehkan ummat Islam dan merusak kebhinnekaan. Gelombang penuntutan keadilan terus muncul, terus membesar menuntut agar keridakadilan dihentikan. 

Secara tidak langsung FPI menjadi penggerak arus ini, meski awal gerakan mereka dengan menolak Ahok kurang mendapat simpati, karena mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan kebhinnekaan, tapi sudah sering sebagian masyarakat merasa diperlakukan tidak adil, hal itu yang menjadi pemicu gelombang aksi damai terbesar. Hanya satu tuntutan mereka keadilan, mereka tidak peduli apa agamanya, suku dan ras, karena mereka sudah mengerti apa itu Bhinneka Tunggal Ika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun