Mohon tunggu...
Dani Febri
Dani Febri Mohon Tunggu... Penulis - Terpercaya, Akurat, dan Kredibel

Yakinkan dengan iman Usahakan dengan ilmu Sampaikan dengan amal

Selanjutnya

Tutup

Politik

Telaah Kritism Rocky Gerung: Cinta dan Politik Menghasilkan Keadilan

3 Mei 2023   03:45 Diperbarui: 3 Mei 2023   03:51 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telaah kritism Rocky Gerung: Cinta dan Politik menghasilkan keadilan
Oleh: Dani Febri

"No Rocky, No Party" Jargon yang hangat pada barisan akal sehat Indonesia. Rocky Gerung dikenal sebagai kritikus Presiden Jokowi. Pemikirannya yang tajam, sering menimbulkan kontroversial publik. Selain, dikenal sebagai oposisi pemerintahan Jokowi. Ia dikenal juga sebagai akademisi, pemikir filsafat, pengamat politik, dan feminism. Terlepas dari apapun itu, Orang-orang seperti Rocky Gerung dibutuhkan dalam negara Republik dan negara berkembang.

Rocky menggabungkan tentang "cinta" dan "politik" sebagai media untuk menghasilkan keadilan. Namun dia hal tadi, hari ini kurang bergairah di tengah situasi menuju momentum politik 2024. Akhir-akhir ini ekspresi dari cinta dan politik seperti terpenjara, padahal dua-dua nya adalah energi purba dalam kehidupan dan keadilan. Hal ini dikarenakan ada suatu moral besar yang mengatur cara kita menyampaikan rasa sayang. Moral besar itu menurut Rocky Gerung merupakan moral yang dibuat di langit, bukan hasil kesetaraan kampus. Demikian juga dalam politik, terdapat moral besar yang mengatur kita hingga kita harus memiliki sopan santun dalam berpolitik. Suasana bangsa kita saat ini kebanyakan jalan tol namun kekurangan jalan pikiran, hal ini sangat berbahaya bagi sebuah bangsa yang ingin mempercepat demokrasi.

Dalam pemikiran Rocky Gerung pada waktu memberi perkuliahan di Universitas Negeri Jakarta. Menurut Rocky, terlalu banyak kecemasan dalam kehidupan kita baik dalam bercinta maupun berpolitik, banyak kekhawatiran yang dialami karena kontrol logika laki-laki yang telah ada sejak lama. Logos spermatikos menempatkan perempuan ada pada posisi pasif yang tidak perlu melakukan apa-apa, hanya menunggu untuk diisi saja. Peradaban ini dikendalikan oleh logos spermatikos, hanya ada satu ovum yang dapat dibuahi oleh karena itu harus banyak sperma yang disebarkan. Penyebaran tersebut yang menurut Rocky menghasilkan penindasan dan diskriminasi. Lanjutnya, Rocky menyampaikan bahwa kekerasan terhadap perempuan bekerja dengan logos spermatikos, dan ini luput dari perhatian universitas. Hal ini disebabkan oleh lambannya perkembangan feminisme dalam dunia kampus. Terdapat anggapan bahwa kampus tidak boleh mengajarkan hal-hal yang membahayakan moral. Akan tetapi kondisi tersebut tidak lagi berlaku karena feminisme saat ini berada di puncak ilmu pengetahuan. Feminisme yang dulu dianggap berbahaya justru sekarang dianggap sebagai pengetahuan baru yang memungkinkan untuk mengatur kembali konsep keadilan. "Feminisme yang dulunya unspeakable kini menjadi unstoppable".

Mengenai politik, Dalam karyanya Rocky Gerung "Mengaktifkan Politik." Demokrasi dan Kekecewaan.  Artinya, "sang mayoritas" tidak boleh semau-maunya menentukan "isi politik" sebuah masyarakat. Batas dari demokrasi adalah hak asasi manusia. Rasionalitas ini kita perlukan untuk mencegah politik mayoritas memanfaatkan instalasi demokrasi menjadi saluran totalitarianisme. Begitulah konsensus mutakhir penyelenggaraan demokrasi. Memang, dalam praktik, demokrasi cenderung melahirkan oligarki, karena prosedur teknis elektoral (koalisi, electoral treshold) memungkinkan terjadinya transaksi politik status quo. Tetapi secara substansial, demokrasi juga tetap bertumpu pada prinsip "keutamaan warganegara", yaitu jaminan filosofis bahwa politik tidak terbagi habis dalam electoral politics Artinya, kewarganegaraan tidak boleh direduksi ke dalam mekanisme politik Pemilu, yaitu dengan membagi habis seluruh warganegara menjadi anggota partai politik.

Disinilah cinta yang dikatakan sebagai energi purba manusia di perlukan untuk membendung power sindrom kekuasaan berlangsung. Dari komparasi keduanya dapat ditemukan peran penting terkait cinta dan politik di Indonesia harus senantiasa di aktifkan. Maksudnya, warga negara tidak menihilkan kaidah kita sebagai komponen utama dalam politik terjebak dalam fetisme politik kebencia dan perbedaan belaka. Apa lagi di menjelang pemilu 2024, polarisasi identitas sering di propagandakan oleh golongan tertentu. Maka sudah sewajarnya kita menciptakan keadilan melaui cinta dan politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun