Social change atau perubahan sosial, begitu kita menerjemahkannya. Menerjemahkannya dari suatu bahasa asing menjadi bahasa kita rasanya cukup mudah.Â
Tetapi, mencoba untuk memaknai istilah tersebut dalam konteks praksisnya apakah sama mudahnya? Atau jauh lebih sulit daripada sekedar penerjemahan kata? Perubahan sosial adalah bentuk dari variasi atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan bentuk-bentuk sosial serta setiap modifikasi pola antar hubungan yang mapan dan standar perilaku, mengutip kata Welbert Moore.
Perubahan sosial dapat disebabkan oleh beberapa proses, dimana secara garis besarnya disebabkan oleh dua proses umum yaitu perubahan terencana (kebutuhan dan kesadaran individu untuk berubah) dan tidak terencana (kemiskinan, kontak kebudayaan, perubahan dan tekanan struktur sosial).Â
Didalam tulisan ini hanya akan membahas tentang lingkup perubahan sosial yang dilakukan secara terencana (planned social change; social engineering). Penerapan konsep ini seringkali digunakan dalam sebuah komunitas besar untuk mempengaruhi keputusan maupun pola pikir seseorang terhadap pilihan yang ada dihadapannya. Upaya yang dilakukan dgn harapan akan mendorong sikap seseorang sesuai dengan keinginan si perencana sosial (social planner) yang tentu menginginkan perubahan sosial ditengah-tengah sebuah komunitas masyarakat.
Itu sebabnya konsep ini cukup strategis diterapkan untuk mewujudkan berbagai kepentingan. Di Indonesia, metode ini secara umum seringkali berkaitan erat dengan tarik-ulur kepentingan dalam kontestasi politik (election) maupun kepentingan bisnis (enterpreneur). Tujuannya tidak lain adalah mengupayakan agar kepentingan individu atau kelompok dapat diterima bahkan diubah menjadi kepentingan kolektif (bersama) secara umum.Â
Hal ini menjadi gambaran bahwa masalah-masalah yang ada didalam masyarakat hanya bisa diperbaiki dengan tindakan kolektif atau kolaborasi banyak orang. Ingat bahwa, tujuan perubahan sosial adalah untuk membawa masyarakat menuju kondisi yang ideal dan seimbang, bukan sebaliknya. Untuk itulah kita bergerak!
Tetapi, hadirnya para tokoh saja belum cukup. Saat ini kita memasuki zaman yang berbeda dengan berbagai momentum perubahan sosial sebelumnya yg dilakukan secara revolusioner. Cara tradisional untuk melakukan perubahan sosial tidak lagi menjadi jalan yang relevan untuk masa kini. Cara tradisional itu seperti apa? Sebut saja, banyak bertanya sedikit berbuat, mengkritik setengah hati, kebanyakan demo lupa berkarya, nyinyir, dan sebagainya. Era saat ini jauh lebih canggih daripada masa lalu kita dan para orangtua kita. Kita harus menemukan cara yang jauh lebih bijak untuk menyelesaikan masalah yang ada. Maka, selain menemukan tokoh, kita perlu menemukan cara terbaik untuk melakukan perubahan sosial yang sesuai dengan masa saat ini.
Kita dibekali kemapanan teknologi yang siap mendukung kreativitas apapun yang dimiliki oleh seseorang. Kita dibekali kemampuan berpikir yang jauh lebih kritis dari sebelumnya dan siap mendukung kita untuk lebih peka terhadap masalah yang ada. Kita dibekali daya cipta yang luar biasa yang menunggu untuk kita optimalkan.
Lalu, bagaimana cara kita melakukan perubahan sosial?
Kita harus paham bahwa kualitas argumentasi akan sangat menentukan sejauh mana ide dapat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat. Pemahaman terhadap pokok-pokok persoalan yang menjadi dasar masalah akan sangat menentukan kualitas argumentasi.Â
Metode penyampaian ide tidak melulu harus melalui tokoh atau mediator, tetapi dapat melalui berbagai macam instrumen, misalnya gambar, video, tulisan atau aksi-aksi kolektif-kreatif sebagai bentuk gerakan sosial. Hadirnya teknologi layak menjadi supporting system dari pengadaan berbagai instrumen tersebut. Tetapi yang perlu diingat, kita perlu memikirkan bagaimana metode gerakan sosial yang sesuai dengan zaman kini agar ide lebih mudah diterima dan perubahan sosial dapat terjadi meski perlahan. Fase ini kita sebut sebagai fase infiltrasi ide atau nilai sosial.