Mohon tunggu...
Kabati
Kabati Mohon Tunggu... Jurnalis - Ruang Kerja Budaya

Penulis dan aktivis sosial budaya berdomisili di Padang Sumatera Barat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kisah Seorang Hakim dan Dua Pengacara Perempuan di Padang: Betapa Sulitnya Memperjuangkan Keadilan untuk Perempuan

9 Juni 2024   22:54 Diperbarui: 9 Juni 2024   23:06 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nah, Perma ini sebenarnya salah satu upaya perlindungan bagi perempuan korban kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya agar mereka tidak disakiti dengan verbal atau tidak memiliki trauma pasca mereka memberikan keterangan di pengadilan.

"Hakim Basman yang melakukan pengancaman ini memang  kami laporkan ke Komisi Yudisial (KY) karena yang bersangkutan ini melanggar perma itu, dengan memblaming (menyudutkan) korban ketika memberi keterangan saksi sehingga korban kami traumatik, merasa terancam dan down secara mental. Begitu situasinya," papar Indira.

Menurut Indira, pola pertanyaan yang kemudian memblaming korban itu sangat buruk dampaknya bagi korban. Apa lagi korban yang mereka dampingi itu masih dalam kategori anak-anak. Ya, itu bukan hal yang sederhana. Dalam ruang pengadilan, yang seharusnya dilindungi itu menurut Indira adalah korbannya. Tidak masuk akal saja misalnya hakim meminta para korban dan pendamping korban untuk mengerti mereka. Justru hakim harus memahami dan belajar tentang perspektif dalam menyidangkan kasus-kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum sehingga dalam proses-proses pengadilan itu mereka tidak menyakiti dan tidak membuat traumatik kembali ke korban. Dampaknya sangat berat ketika korban mendapati blaming di ruang-ruang pengadilan. Merasa trauma dan begitu beratnya dampak itu . Hakim harus menyadari dan segera berbenah diri dalam situasi itu.

"Tidak mungkin kita biarkan ruang-ruang sidang kita melakukan kejahatan kepada para korban," ujar perempuan yang sudah delapan tahun menjadi lowyer dan 10 tahun mengabdi menjadi pengabdi bantuan hukum di LBH Padang tersebut.

"Jujur saja, bahkan saya sudah menyidangkan dan bersidang puluhan kali di PN Padang itu dalam berbagai kasus. Belum ada dalam pengalaman saya dan kami di LBH, kami di ancam dalam ruang sidang itu sendiri. Ini peristiwanya di ruang sidang ketika proses menunggu sidang, ada perangkat-perangkat hukum lain di situ dan anehnya tidak ada yang berusaha melindungi staf saya disitu. Bagaimana mungkin kami tidak merasa kecewa. Ketika ruang sidang yang seharusnya aman bagi pihak yang berbeda pemikiran dan pandangan dan berbeda kepentingan. Ini ruang sidangnya justru merong-rong kami.  Dan kami merasa ini tidak pengalaman sederhana dan bukan hiperbola, justru hakim-hakim itu harus sensitif  dalam kasus ini," ujarnya tegas.

Indira juga berbagi pengalaman bahwa selama ini dia memang sering berselisih pandangan dengan hakim tetapi tidak ada muncul ancaman-ancaman.

"Kalau saya jujur, LBH Padang bertengkar dengan hakim selama proses sidang itu sering. Tapi tidak akan pernah kemudian para hakim kami, jaksa maupun pengacara ketika kita diruang sidang berdebat kencang lalu melakukan pengancaman atau yang lainnya. Tidak pernah. Baru sekali inilah dalam proses kami melakukan bantuan hukum karena kami melakukan kerja-kerja pendampingan bagi korban  atas tindakan hakim yang tidak mematuhi aturan di dalam internalnya sendiri lalu kami diancam dan dituduh pula hiperbola. Ini tidak sederhana dan jangan sampai sikap hakim Basman ini mewabah pada hakim-hakim lain. Ruang pengadilan haru ramah terhadap orang-orang yang mencari keadilan," ujarnya.

Hakim Basman sendiri tidak hadir dalam jumpa pers di PNP, hari minggu itu. Katanya sedang ada urusan keluarga di kampungnya di Pariaman. Dia  memang sudah mengaku melakukan ancaman, tetapi sebatas membenarkan perbuatannya saja, tetapi tidak menyatakan permintaan maaf tertulis atau dalam bentuk lainnya. Ketua PNP juga mengatakan tidak akan menjatuhkan sanksi apapun, karena itu tergantung keputusan Komisi Yudisial saja, katanya.

Soal mengubah paradigma dari yang sebelumnya tidak menunjukkan simpati dan keberpihakan menjadi berperspektif perlindungan korban memang bukan perkara mudah. Apa lagi mengingat nilai-nilai patriarkhi yang ternyata masih berakar kuat di masyarakat. Bahkan di masyarakat matrilineal minangkabau yang harusnya meletakkan perempuan pada posisi sangat mulia. Peristiwa pengancaman dan pelecehan korban perempuan ini membuat saya berpikir, betapa tidak mudah dan tidak indahnya menjadi perempuan ketika berhadapan dengan pemegang kekuasaan yang pikirannya masih sangat patriarkis. Orang-orang yang tidak mau disalahkan dan mengaku salah walaupun sudah terang menginjak nilai-nilai kemanusiaan dan menimbulkan penderitaan pada orang lain. (Ka'bati)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun