Mohon tunggu...
Kabati
Kabati Mohon Tunggu... Jurnalis - Ruang Kerja Budaya

Penulis dan aktivis sosial budaya berdomisili di Padang Sumatera Barat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kisah Seorang Hakim dan Dua Pengacara Perempuan di Padang: Betapa Sulitnya Memperjuangkan Keadilan untuk Perempuan

9 Juni 2024   22:54 Diperbarui: 9 Juni 2024   23:06 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agak lain memang peristiwa siang itu. Awalnya tentu tak ada firasat buruk, ketika dua pengacara muda itu berangkat menjalankan tugasnya, Rabu 5 Juni 2024 lalu.  Ruang sidang adalah tempat yang aman dan terbuka. Orang-orang datang untuk mencari keadilan di depan hakim. Mereka dilindungi, semua ada dalam aturan yang jelas.

Ranti dan Anisa duduk tenang menunggu giliran sidang, ya seperti yang biasa mereka jalani selaku aktifis yang mengabdikan hidupnya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, membela dan menuntut keadilan bagi perempuan korban. Namun rasa tenang berubah tegang, ketika salah seorang hakim senior menghampiri mereka lalu melontarkan kata-kata ancaman. Walaupun dalam kondisi cemas, salah seorang dari mereka berhasil merekam suara sang hakim. Selang sehari  audio rekaman itu menyebar dan viral di media sosial.  Publik bereaksi, mengutuk perbuatan hakim.

Reaksi publik dan media atas perbuatan hakim yang mengancam dua pengacara perempuan itu membuat pihak Pengadilan Negeri gusar.  Minggu sore, mereka menggelar jumpa pers. Sayangnya dalam acara jumpa pers yang juga dihadiri oleh para hakim di PN tersebut, ketua PN tidak dengan legowo menyatakan permintaan maaf atas perlakuan hakim bernama Basman itu, namun yang berulang dinyatakan adalah upaya untuk menggugat kembali pihak LBH yang mereka anggap melakukan pencemaran nama baik terhadap institusi mereka. Ketua Pengadilan Negeri Padang (PNP) dan wakilnya secara terang-terangan  mengatakan kecurigaannya atas tindakan pihak LBH yang dianggap hiperbola dan memperbesar-besar masalah.

"Memang ini kasus yang berbeda. Kami sudah memanggil hakim bersangkutan dan beliau mengaku benar melakukan pengancaman itu. Tapi yang namanya prilaku manusia tentu tak luput dari kesalahan. Untuk itu kami telah berupaya untuk mengajak pihak LBH membicarakannya secara kekeluargaan. Di sisi lain kami juga bisa menuntut balik LBH karena melakukan pelanggaran merekam pembicaraan di ruang sidang lalu menyebarkannya. Ini ada indikasi dari pihak mereka untuk memperbesar masalah. LBH Padang saya anggap sangat hiperbola dan merugikan kami sebagai lembaga," ujar ketua PNP Syafrizal di depan jurnalis yang hadir.

Tidak banyak wartawan yang datang dalam jumpa pers tersebut, karena informasinya memang mendadak. Namun perwakilan dari Forum Jurnalis Perempuan(FJPI)  Sumbar hadir, saya hadir bersama Nita Arifin (ketua FJPI Sumbar) dan Devy Diani. Semenjak awal kasus ini viral, kami di FJPI memang merasa harus terlibat. Tidak masuk akal ada ancaman dari hakim senior dalam kata-kata yang tidak baik seperti itu di ruang sidang yang mulia, tempat orang-orang berharap mendapat keadilan. Dan itu dilakukan oleh manusia mulia bernama hakim. Pihak yang menerima ancaman pula adalah perempuan yang sedang memperjuangkan nasib perempuan korban yang dalam persidangan sebelumnya mendapat pengalaman traumanik akibat pertanyaan-pertanyaan hakim yang terkesan melecehkan.

Suasana di ruang jumpa pers, lantai 2 gedung Pengadilan Negeri jalan Khatib Sulaiman itu terasa tegang. Ada perasaan tidak puas ketika mendengar statemen yang lagi-lagi memojokkan korban. Salah seorang wartawan televisi yang hadir memberikan saran agar membicarakan kasus ini dengan baik, agar tidak terjadi salah persepsi, tetapi menurut ketua PNP, mereka sudah melakukan komunikasi tetapi sepertinya pihak LBH memilih cara lain, dengan juga mengajukan pengaduan perbuatan ancaman itu ke pihak Polda Sumbar.

"Pak, ini bukan masalah yang bisa diselesaikan dengan komunikasi dan berdamai-damai. Ini soal pelanggaran etika dan sekaligus pelanggaran aturan hukum. Mestinya Bapak berupaya membenahi institusi ini secara internal dan meminta maaf ke pada publik. Bukannya menegakkan benang basah dengan menuntut balik pihak LBH. Maaf ini saran." Saya agak terpancing emosi karena melihat reaksi ketua PNP tersebut. Apa lagi ketika melihat reaksi dua hakim perempuan yang ada di ruang tersebut yang walau sudah diperkenankan oleh ketuanya untuk berbicara namun menolak berkomentar. Padahal saya hanya ingin tahu, apa pandangannya terhadap kasus tersebut dan bagaimana bentuk keberpihakannya kepada proses implementasi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perma itu sendiri lahir atas dasar pertimbangan atas pentingnya negara memberi perlindungan terhadap warganya dari segala bentuk diskriminasi.

"Saya tak bisa menjawab dan berkomentar apapun. Tanya saja ke Humas. Karena aturannya begitu," ujarnya.

Akh, sungguh jawaban yang mengecewakan. Padahal saya berharap sebagai seorang hakim yang mulia, beliau juga menunjukkan kemuliaan dengan berempati terhadap korban pengancaman oleh rekan mereka, bukan hanya mulia dalam sebutan di ruang sidang.

Mendekati waktu magrib, jumpa pers selesai. Saya mencoba menghubungi direktur LBH, Indira Suryani. Sebetulnya pada Jumat siang, pihak LBH sudah pula menggelar jumpa pers berkaitan kasus ini. Namun pada saat itu saya tidak bisa hadir.

Lewat whatsApp, Indira menjelaskan kalau dia dan teman-teman di LBH memang sudah sejak setahun yang lalu bekerja untuk mendorong bagaimana hakim-hakim di pengadilan di Sumbar untuk mengimplementasikan Perma no 17 tahun 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun