Mohon tunggu...
ka bati
ka bati Mohon Tunggu... -

Ka'bati. Seorang penulis lepas. Sekarang tinggal di pinggiran kota seoul, tepatnya di Yongin-do Korsel

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebuah Cerpen dalam Antologi Negeri Tuan Samsung

24 Januari 2010   00:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:18 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

NEGERI TUAN SAMSUNG

Kalau tidak di bawa bertenang, bisa-bisa kekesalan saya berubah jadi sakit hati. Ini masalah Choi Halmoni. Nenek itu terasa sangat menjarah kehidupan rumah tangga saya. Selalu saja ada yang salah dengan cara hidup kami sekeluarga. Berkali-kali dia mempermasalahkan cara makan kami, yang memang biasa tanpa sendok, garpu apa lagi sumpit. Makan dengan jari tangan saya pikir bukan suatu yang jorok. Di kampung saya, Pariaman sana, hampir tidak ada orang makan pakai alat bantu. Makan nasi padang sama sekali tak ada nikmatnya pakai sendok. Pernah ada dulu seorang tetangga yang pulang merantau, dan berlagak makan dengan sendok dan garpu, dia langsung mendapat gelar, buyuang sendok. Tentu saja tidak enak mendapat gelar cemooh begitu. Kalau saya juga merubah kebiasaan dan makan pakai sumpit, seperti kebiasaan orang kampung sini, jangan-jangan saya atau anak saya mendapat gelar pula, supiak sumpik.
Saya sudah menjelaskan soal kebiasaan itu, tetapi Choi Halmoni tak mau ambil pusing. Dengan sinis dia mengoceh, dan mengatai saya jorok. Juga menuduh saya mengajar anak kelakuan jorok. Nah kalau begini siapa pula yang takkan sakit hati?
Berkali-kali juga dia memarahi anak saya karena tak mau cebok menggunakan tissue. Memang di toilet saya tersedia tissue, tetapi kami tidak memakainya untuk bersuci. Kami biasa menggunakan air. Rasanya tak yakin bersih kalau belum dibilas air. Anak-anak juga saya ajar cebok pakai air. Nah nenek itu selalu saja merungut.
”Tengok lantai kamar mandinya selalu basah. Saya bisa terjatuh kalau begini. Kalau basah juga gampang jorok, cis!”
Setiapkali mengerutu pula, kalimatnya selalu diakhiri kata pedas itu, cis. Panas rasanya telinga mendengarnya. Padahal saya tak pernah merepotkannya, seperti meminta bantuannya membersihkan kamar mandi. Kalaupun dia kuakui sering membantuku menjaga Rafa atau memberi kami bahan makanan yang sudah tak termakan di rumahnya, itu atas kemauannya sendiri, bukan saya yang meminta.
Dan yang paling berat lagi, cemoohannya tentang gigi Rafa, yang keropos. Sayapun sebenarnya tidak menginginkan giginya begitu. Saya selalu mengontrol giginya. Mengajarkan gosok gigi dari bayi. Tapi memang dasar giginya itu yang rapuh, saya tak bisa berbuat banyak. Kata ibu mertua saya di kampung juga kata ibu saya, gigiku dan suami waktu kecil juga begitu, keropos. Dan saya baca, memang ada kemungkinan gigi keropos itu karena keturunan. Tapi nenek cerewet itu tak mau peduli.
“Ini zaman sudah maju. Gigi seperti itu bisa dicabut, di tambal atau ganti. Gigi penting biar anak bisa tersenyum dan percaya diri. Kamu saja yang pelit. Tak mau membawa anak ke dokter gigi,cis!” Ujarnya sambil mengangkat dagu. Persis layaknya ibu mertua cerewet dalam sinetron-sinetron.
La, bukan saya tak mau membawa ke dokter, tetapi solusinya yang saya kurang nyaman. Kalau gigi susu dicabut, saya khawatir urat giginya akan mengganggu syaraf lain. Karena sangat sensitif. Kalau harus di tambal atau diganti, biayanya sungguh luar biasa, jutaan. Dan itu hanya sampai umurnya enam atau tujuh tahun, menutupi sampai gigi dewasanya tumbuh. Uang tentu saja tidak gampang bagi keluarga kuli seperti kami. Jadinya saya menyabar-nyabarkan hati saja. Dan berusaha membuat anak saya tetap percaya diri, dengan gigi keroposnya.
Tetapi Choi Halmoni selalu bicara masalah gigi di depan anak saya. Ini tentu membuat anak lima tahun itu juga semakin kurang pede. Jadinya diapun merengek minta giginya diganti. Saya bilang terus terang ke anak saya, kalau ganti gigi itu mahal. Sebentar lagi gigimu akan diganti tuhan.
Lalu anak itu bicara pada nenek cerewet tersebut, kalau giginya akan diganti sendiri oleh Tuhan nanti, tanpa harus di bayar mahal.Mendengar kata tuhan dibawa-bawa, nenek itu kembali merengut sinis. “Menyusahkan tuhan, cis!” Dengusnya tajam menusuk telingaku.
Dia itu memang tak beragama, tetapi dia punya tuhan yang disembah, leluhurnya. Nah, baginya, sang leluhur tak boleh direpotkan. Memuja dan menghormati leluhur adalah kewajiban orang yang masih hidup.
Satu hal yang bisa dia terima hanyalah kebiasaan saya sembahyang lima kali sehari. Itupun awalnya dia cemoohkan. Tapi kemudian, malah dia yang mengingatkan, walau kadang dengan menjinjit bahu, layaknya orang menyindir. Karenanya, walaupun kesal saya sering juga berdoa agar nenek tetangga kami itu bisa mengakhiri hidupnya nanti dengan baik, sebagai muslim. Siapa tahu, diam-diam dia belajar Islam dari saya. Dan siapa tahu juga satu hari nanti dia akan mendapat hidayah. Makanya saya membujuk hati untuk tidak mendendam atau marah dan membalas perlakuan kasarnya.
Kami sekeluarga baru beberapa bulan tinggal di Negara Tuan Samsung ini. Suamiku menjadi buruh di sebuah perusahaan dagang. Cukup lumayan pendapatannya. Kami bisa menyewa sebuah apartemen di pinggir kota Seoul, tentu saja dengan deposit ditanggung perusahaan. Deposit itu uang jaminan. Jumlahnya, untuk sebuah apartemen, mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Nah bunga deposit itulah yang harus kami bayar dengan potongan gaji suami setiap bulan. Selain untuk sewa rumah dan kebutuhan harian, kami juga punya tanggungan keluarga, membantu keluarga ibuku dan ibu mertua di kampung. Dan menabung juga sangat penting, kalau tidak ingin pulang dalam keadaan tak punya rumah sendiri, seperti yang kami lakoni sebelum sampai ke negeri ini. Pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.
Setelah anak kami Rafa dapat sekolah di orinijib, sebuah taman kanak-kanak, dan karena uang sekolahnya cukup mahal, sayapun memutuskan bekerja membantu suami. Kerja arbaitan—istilah orang sini untuk kerja serabutan dan illegal—di toko atau kadang-kadang di homeindustri yang memang cukup banyak. Gajinya tidak besar, hanya empat ribu satu jam. Tetapi tentu saja cukup lumayan membantu.
Ketika baru datang, kami sering menghabiskan waktu bejalan-jalan ke tempat-tempat terkenal di sepanjang Kota Seoul. Juga belanja dan keluar masuk mall sekelas Homeplus, Lotte Mart, Samsung Plaza atau Hyundai Plaza. Nah di tempat seperti ini, dunia Seoul tentu terlihat sungguh gemerlap. Kami diperlakukan dengan sangat sopan, dan merasa sebagai warga terhormat.
Lama-lama saya mulai belajar berhemat. Dan untuk belanja murah, pasar tradisional memang pilihan yang tepat. Hanya saja, pergaulan arus bawah masyarakat kota ini saya rasakanya ternyata keras dan kasar. Sungguh berbalikan sekali dengan gemerlap plaza-plaza.
Tiba-tiba saya menemukan banyak sekali manusia sejenis Choi Halmoni, orang kasar dan suka menghina. Saya bukan termasuk perempuan modis dengan pakaian bermerek dan kosmetik kelas dunia. Walaupun saya punya satu dua pakaian seperti itu, saya tentu tidak memakainya untuk berbelanja ke pasar tradisional yang lumayan becek. Nah, dengan penampilan seadanya begitu, saya sering disapa dengan sinis. Mereka mengamati saya dari kelapa sampai kaki, dan bertanya: Odi sarami yo. Sebagai orang Timur, saya cukup peka dan mengerti rasa bahasa. Ditanya begitu: Orang mana? Walaupun diiringi senyum tetap saja rasanya asem. Jelas sekali terasa beda, kalau saya ke pasar dengan dandanan berkelas. Kalau kita menawar barang, hati harus disiapkan menerima bentakan kasar dan kata cis yang tak tanggung sakitnya. Dan kalau saya bersama Rafa, lebih menyedihkan lagi. Mereka kadangkala memang senyapa dan membelai anak saya. Keramahan pada anak-anak cukup lumayan terasa, tentu saja berdasarkan kelasnya juga, anak siapa. Sering mereka memberi perment atau coklat buat Rafa, diikuti keharusan harus membungkuk hormat dan mengucapkan terimakasih. Nah, malangnya, begitu dikasih dan Rafa tersenyum senang, gigi keroposnya akan kelihatan. Tanpa bisa dibendung keluarlah komentar negatif itu. “Ajaguu…cis!” Anak cantik, tapi gigi kok begitu? Nah, hati ibu mana yang tak luka?
Bukan hanya di pasar, di tempat kerjapun begitu. Namanya juga buruh.
Karena memilih hidup seperti ini, saya harus menggantung perasaan di lemari. Berjejeran dengan baju bermerk saya yang hanya satu dua lembar itu. Parahnya, di rumahpun ada manusia seperti Choi Halmoni, tamu yang selalu datang sesukanya, mengusik ketenangan kami dan menyemburkan kata cis.
Satu hari presiden kita datang ke negeri ini. Melakukan beberapa pembicaraan diplomatik dengan pemerintah setempat. Salah satunya keputusan perpanjangan visa buat pekerja asing. Keputusan itu diberitakan media sebagai keberhasilan lobi sang presiden. Di beritakan lagi, itu sebagai berita baik buat para buruh yang sedang bekerja di negeri ini. Semacam bingkisanlah dari presiden yang baru dilantik itu.
Satu malam, sepulang bekerja, suami saya mengabarkan kemungkinan kami akan tinggal tiga atau empat tahun lagi di negeri itu. Hati saya terasa membubung, mendahului kami pulang kampung.
“Tabungan kita masih belum cukup. Bagaimana dik? Kita perpanjang kontrak kerja di sini?” ujarnya minta pendapat.
Di benak saya bayangan wajah Choi Halmoni muncul, diikuti wajah orang-orang pasar dan sajangnim, bos di tempat kerja. Serentak mereka berucap, ciss!!!
Kuat sekali dengingannya, sampai meletuskan kantong airmata saya. Dan saya ingin mengatakan, “Sudah! Kita harus akhiri kerja kuli ini.”
Anehnya, kali ini kepalaku bekerja di luar kendali hati.
Aku rasakan dia mengangguk.
Entah kata siapa yang diturutinya.

Yongin, 23/1/2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun