Tadi pagi saya ngobrol dengan teman. Seorang mahasiswa baru di kampus Hufs Yongin. Dia dari Papua dan seorang Nasrani yang kelihatannya cukup taat.
"Susah saya kalau mau ke gereja, soalnya jauh ke arah Suji..." entah darimana mulanya, tiba2 saja pembicaraan kami sampai ke persoalan tempat ibadah.
"Kenapa harus jauh-jauh? tu dekat rumah saya ada gereja buesaar n megah. Jamaahnya juga ribuan..." ujar saya.
"Persoalannya bukan megahnya mbak, tapi bahasanya...saya nyari yang minimal bahasa inggrislah kalau g indonesia..." lalu kami sama tertawa. Soalnya memang masalah bahasa adalah kendala dalam berinteraksi dengan masyarakat sini. Kalau mau mendapat pencerahan batin lewat khutbah pastor atau ustadz ya kita mesti ngerti bahasa si penceramah tho??
"Saya juga lo...kesusahan nyari mesjid," jawab saya.
"La..bukannya di Gwangju yang dekat situ ada mesjid?"
"Iya tapi berbahasa urdu...karena imam dan jemaahnya kebanyakan orang afganistan, banglades, india, pakistan..." jelas saya.
Lalu pembicaraan kami terhenti, karena si kawan harus buru-buru ke kampus.
Tetapi sebelumnya saya masih sempat berpesan: "Sudahlah....kita tak perlu susah-susah mencari gereja atau mesjid, kalau yang kita butuhkan adalah Tuhan...Bukankah Tuhan ada dimana-mana?dan tidak pernah ada masalah bahasa jika berhadapan dengan tuhan???"
Dan untuk itu kami berdua sama setuju.
^__^