Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata salat, yang kemudian berarti “sholat” dalam agama Islam, mendapat krtik dari Prof Dr Jalaluddin, Guru Besar IAIN Raden Fatah Palembang.
Menurut Jalal, penulisan kata “sholat” dalam KBBI yang kemudian di-Indonesia-kan menjadi “salat” sangat jauh maknanya. Sebab, arti “sholat” dalam agama Islam berarti doa. Secara istilah, sholat dijelaskan Jalal merupakan serangkaian kegiatan ibadah yang diawali dengan takbirotul ikrom (mengangkat kedua tangan) dan diakhiri dengan salam.
Kata “salat” dalam KBBI bila kemudian ditulis dengan bahasa arab, awal hurufnya “sin” yang bermakna menarik. Sementara kata “sholat”, dalam Islam diawali dengan huruf “sho” yang bermakna doa.
Menurut mantan Rektor IAIN Raden Fatah Palembang ini, meluruskan kata “salat” dalam KBBI menjadi penting, karena menyangkut peribadatan satu agama. Oleh sebab itu, tidak bisa istilah “sholat” dalam KBBI ditulis “salat” termasuk juga kata musalla, yang seharusnya musholla. Kalau tetap ditulis salat, menurut Jalal ada pemaknaan yang salah.
Hal itu terungkap dalam acara “Diseminasi Program Pengayaan Kosakata ke Masyarakat sebagai Ekosistem dalam Pengembangan Bahasa Indonesia” yang digelar Balai Bahasa Sumatera Selatan, di Gedung Grand Atyasa, Jalan Kapten Anwar Arsyad No. 22, Demang Lebar Daun, Palembang, Jumat (19/8/2016).
Selain kata salat, istilah ngabuburit juga menjadi salah satu bahasan di forum itu. Sumarman, atau akrab dipanggil Warman Pluntaz, sa;ah satu pelau sastra di Palembang menilai, istilah ngabuburit, di Palembang seringkali dipelsetkan menjadi ngadu burit yang berarti adu pantat. Burit bagi warga Palembang bermakna tempat pembuangan atau dalam ist;ah KBBI anus.
“Bahkan kalimat ini, untuk di Palembang disampaikan saat orang marah atau kesal. Ah, burit kau ini!” ujar Warman mencontohkan kalimat keseharian warga Palembang. Kontan saja, lontaran kata ini mengundang gelak tawa hadirin. Tak terkecuali Prof. Dr. Dadang Sunendar, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang kali itu juga menjadi salah satu pembicara.
Sebelumnya, pada sesi pertama Dadan Senendar juga menegaskan kekayaan kosa kata yang bersumber dari berbagai daerah, menjadi ukuran besar kecilnya sebuah negara. Menurutnya, kemajuan dan kekayaan kebudayaan sebuah bangsa sangat ditentukan banyaknya kosa kata yang tersusun dalam kamus.
“Selama ini, kamus selalu identik dengan orang yang bersekolah saja. Padahal kamus tidak hanya milik orang sekolah tetapi setiap warga negara juga berkewajiban ikut berpatisipasi menyumbang kosa kata yang dimungkinkan bisa dimaksukkan dalam KBBI. Namun hingga saat ini partisipasi warga hingga saat ini belum maksimal, padahal kita ini sangat kaya dengan kosa kata,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Balai Bahasa Sumsel, Aminnulatif menjelaskan, kegiatan ini menurut Dadang, bertujuan untuk mengundang partisipasi masyarakat dalam pengembangan kosakata bahasa Indonesia. “Dengan menyumbangkan kosakata baru yang berasal dari bahasa daerah atau istilah bidang ilmu, diharapkan akan tergali kekayaan kebudayaan Indonesia,” tambahnya.
Selain Dadang Sunendar, hadir sebagai pembicara Dr. Dora Amalia, Kepala Bidang Pengembangan, Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Drs. Muslim M. Soleh Roni, M.Pd., Praktisi dan Penggiat dalam Penelitian Bahasa-bahasa Daerah di Sumatera Selatan.