“Nah, apalagi CV, itu artinya yang bekerja sudah kontrak kerja, dan mereka harus membersihkan sampah di lingkungan kantor utama”.
“Justru CV-nya yang minta tambahan insentif, Pak”.
Belum lagi saya selesai berbincang dengan Heru, saya sudah melihat “pasukan bersapu”, berbondong-bondong datang ke Lapangan Segitiga. Ada seorang pengawas di sekitar lapangan itu.
“Gara-gara sampah, saya jadi kena marah direksi.” pengawas itu menggerutu, yang mungkin hanya didengar oleh dirinya sendiri.
“Kenapa kamu yang harus nyapu, kan bukan giliran CV-mu?” tanya saya pada salah satu petugas kebersihan.
“Kena marah direksi Mas, kalau tidak dibersihkan,” jawabnya pendek.
“Oooo, jadi, kalau tidak dimarahi Direksi sampah ini akan tetap dibiarkan?!”
**
Peristiwa diatas, hanya sekelumit realitas, yang sering terjadi di masyarakat kita. Membersihkan sampah, sering berdasar pada ke-inginan untuk dipuji, dilatari oleh uang seseran, takut dipecat, takut dimarahi direksi, atau karena ada kunjungan seorang pejabat.
Ini sama halnya, ketika suatu kampus Perguruan Tinggi di Palembang, akan kedatangan salah satu Menteri. Karena kebetulan, jalan masuk ke kampus yang berjarak 400 meter itu, disesaki oleh pedagang kakilima. Maka satu hari sebelum Pak Menteri datang, semua diusir, dipaksa pindah, untuk sesaat saja, sampai Pak Mentri pulang ke Jakarta. Persis dengan membersihkan sampah, karena takut dengan direksi.
Menjelang dan pada saat pelaksanaan Sea Games di Palembang juga begitu. Semua yang semrawut seketika rapi. Pedagang kakilima dan semua bentuk kekumuhan disulap jadi metropolis, mewah, tertata dan rapi. Tujuannya apa? Supaya tidak dimarahi Presiden dan Pak Menteri.