April 2009, Anak kedua saya (Muhamamd Kahfi El Hakim) lahir. Diawal kelahirannya tidak ada tanda akan ada hambatan Buang Air Besar (BAB). Tetapi pada usia tiga tahun (2011), anak saya mengalami hambatan ketika akan BAB.
Sedemikian banyak upaya saya dan isteri untuk mengatasi persoalan BAB anak saya. Sejak dokter umum, sampai dokter spesialist anak kami datangi, hanya sekadar untuk ‘memaksa’ tinja agar segera keluar dari perut anak saya. Semua saran dokter dan para tetangga yang sebelumnya punya pengalaman serupa kami jalankan. Segala bentuk informasi dari internet kami download, kami praktikkan, guna mempercepat BAB anak saya. Tapi hasilnya nihil.
Semua sudah kami lakukan, usaha dan ikhtiar kami jalani atas dasar kecintaan kami kepada anak saya. Bukan hanya karena cinta pada mahluk kecil yang kami punya, tetapi lebih dari itu, kecintaan kami karena cinta pada Dzat yang telah menciptakan anak saya. Melukai anak saya, sama halnya kami juga telah melukai Yang Maha Pencipta anak saya. Kali itu, sebagai orang tua, kami sedang diberi mandat untuk merawat dan ‘dipaksa’ berpikir keras bagaimana kami harus mendorong tinja agar segera keluar dari perut anak saya.
Selama satu minggu, isteri saya hanya mengelus dan membelai anak saya dengan derai air mata. Dalam setiap doa, kami selau menyelipkan permohonan agar anak saya segera diberi kesempatan secara normal untuk BAB.
Setelah semuanya kami jalani, saya dan isteri hanya bisa berserah pada “Sang Maha Pengatur” sirkulasi tinja. Semua usaha dan upaya yang kami lakukan, menjadi bagian ikhtiar kami sebagai mahluk ciptaan-Nya. Sementara kebijakan, keputusan dan wewenang, waktu kapan tinja anak saya harus keluar, bukan lagi wewenang kami sebagai mahluk ciptaan-Nya. Jangankan tinja, untuk sekadar menghentikan detak jantung dan aliran darah untuk satu detik saja, kami tak mampu, apalagi jika kami harus mengatur sirkulasi tinja?
Setiap waktu dalam hitungan detik dan menit, isteri saya mengajak dialog anak saya, menawari anak saya, supaya mau jongkok diatas closed di kamar mandi. Tapi anak saya tetap diam. Sesekali terkulai diatas ranjang sembari memegangi mainan kesukaannya. Isteri saya tahu kalau anak saya sedang mengalami kontraksi dalam perutnya, setiap kali lambat BAB. Tak ada senyum yang mengulas di wajah anak saya kali itu. Isteri saya kembali memeluk dan membelai diringi derai air mata. Sedih, pedih sekaligus kami berdua sedang merindukan tinja anak saya.
Tepat, satu minggu lebih satu hari, syukur Alhamdulillah Tuhan mengabulkan doa kami. Anak saya bisa BAB dengan baik. Tak ada kesulitan, meski anak saya harus menangis karena komposisi tinja sudah sangat keras, sehingga menimbulkan rasa sakit saat BAB. Tetapi setelah itu, keceriaan di wajah anak saya seketika menyemburat sebagaimana sebelumnya. Demikian pula kami sebagai orang tua.
**
Tinja, menurut kita adalah seburuk-buruk kotoran, yang selama ini kita buang setiap waktu. Kita tidak pernah bisa membuat permakluman sedikitpun, misalnya meluangkan waktu bagi tinja, agar suatu kali tinja kita, bisa sekadar singgah sebentar di rumah kita. Jangankan untuk melihat bentuknya, mencium baunya saja, kita akan secepat mungkin menutup hidung, agar bau busuknya tidak masuk ke rongga hidung dan dada kita. Begitulah sikap kita terhadap tinja, atau kotoran sejenis yang keluar dari setiap lubang di tubuh kita.
Sering kali kita menganggap tinja sebagai mahluk ciptaan biasa, bukan sebagai bentuk karunia Tuhan. Akibatnya kita memandang tinja tetap saja sebagai kotoran yang menjijikkan, tanpa melihat bagaimana tinja itu berproses, atau sekali waktu bertanya, siapa yang telah mengatur sirkulasi tinja, sehingga secara rutin keluar dari perut kita, demi keberlangsungan hidup setiap mahluk?
Tapi di kali lain, bagi saya dan isteri, onggokan tinja telah membangkitkan kecintaan saya dan isteri pada anak saya—sekaligus membangkitkan kesadaran kecintaan saya pada Yang Maha Pengatur sirkulasi tinja. Bagaimana mungkin kami akan merelakan anak saya terkulai lemas tanpa daya, bergulat dengan rasa sakit lantaran tumpukan tinja di perutnya belum keluar? Membiarkan anak saya sakit, sama halnya saya telah menyakiti Sang Pemberi Hidup pada anak saya.