Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
Penawar musin kemarau dan tangkal bahaya banjir
Tentu bapa sudah melihat gambarnya di koran kota
Tatkala semua orang bersedih sekadarnya
Dari kaki langit ke kaki langit air membusa
Dari tahun ke tahun ia datang melanda
Sejak dari tumit, ke paha lalu lewat kepala
Menyeret semua
Bila air surut tinggallah angin menudungi kami
Di atas langit dan di bawah lumpur di kaki
Kelepak podang di pohon randu
Bila tanggul pecah tinggallah runtuhan lagi
Sawah retak-retak berebahan tangkai padi
Nyanyi katak bertalu-talu
Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
Tidak tugu atau tempat main bola
Air mancur warna-warni
Kirimlah kapur dan semen Insinyur ahli
Lupakan tersiarnya sedekah berjuta-juta
Yang sampai kepada kami
Bertahun-tahun kita merdeka, bapa
Yang kami minta hanya sebuah bendungan saja
Kabulkanlah kiranya (Yang Kami Minta Hanyalah - Taufiq Ismail)
Salah satu puisi Taufiq Ismail ini pernah saya baca beberapa kali ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Medan, Sumatera Utara. Medan, kota di mana saya lahir dan dibesarkan. Puisi ini salah satu puisi favorit saya. Dulu ketika membacanya, saya tak pernah membayangkan seperti apa mengalami banjir itu, meski rumah saya tak jauh dari aliran Sungai Deli –sungai yang membelah kota Medan.
Baru pada tahun 2000, ketika saya bermukim di Banda Aceh, rumah kontrakan saya tenggelam ditelan banjir. Air bandang yang datang tak hanya menyentuh atap. Semua barang tak bisa diselamatkan, kecuali sebuah laptop dan pakaian yang melekat di badan. Karena air begitu cepat datang membuat semua panik tak terkatakan.Kami mengungsi. Tidak ada bantuan sampai sebulan kemudian datang petugas dari kelurahan, memberikan beberapa mug beras dan beberapa bungkus mie instant sebagai bantuan yang katanya dari kementerian sosial.
Sekarang saya tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta. Sudah hampir sebulan ini berjibaku dengan cuaca jika hendak pulang dan pergi bekerja. Tapi itu belum seberapa parah jika dibandingkan dengan para warga sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi yang saban musim hujan berjibaku melawan banjir yang datang. Saban musim hujan lho dan itu artinya saban tahun.
Sayangnya, di tengah haru biru warga yang diterjang banjir, pemerintah tak kompak untuk mencari solusi. Bacalah di koran-koran, semisal pernyataan Dirjen Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Sonny Partono. Kata-kata yang yang dikeluarkannya membuat kita kehabisan kata. Begini katanya, “ Kami enggak bisa salahkan teman sendiri.Yang penting tugas kami kelar, kami tak mau campuri tugas yang di tengah dan hilir.”