Mohon tunggu...
Peron Dua
Peron Dua Mohon Tunggu... -

Seorang komuter yang tinggal di Bogor

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Roker and the City: Tentang Bunga dan Melati

17 Oktober 2014   19:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:40 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1413822424987016507

[caption id="attachment_367921" align="aligncenter" width="624" caption="Petugas keamanan membantu penumpang menggunakan tiket elektronik saat ujicoba tiket tersebut di Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. (KOMPAS/WISNU WIDIANTORO)"][/caption]

Banyak orang yang bekerja di area public service tapi ternyata tak punya jiwa melayani. Begitulah kisah pagi ini dari gerbong perempuan KRL Bogor - Jakarta Kota.

Aku nyaris ketinggalan kereta jika tak mengandalkan kemampuan sprintku yang tak seberapa ini. Kereta jurusan Bogor - Jakarta Kota yang kutumpangi saban pagi itu masuk peron ketika aku baru tap-in kartu di pintu masuk. Setengah berlari aku menjajari banyak langkah di peron dua. Begitu dekat rangkaian gerbong kesepuluh, hup, sekali lompat. Begitu kaki menjejak di gerbong, pintu segera tertutup. Nyaris saja.

Mataku segera mengincar tempat favorit- pojokan kursi prioritas, perbatasan gerbong perempuan dengan gerbong campuran. Berdiri di area ini lumayan nyaman meski berdesakan dan berhimpitan laksana ikan sarden dalam kaleng. Syaratnya, pintu batas harus ditutup, jika tidak maka tubuh akan terhuyung-huyung dan terdorong jika kereta berhenti. Dan ini sungguh menyebalkan karena biasanya banyak para lelaki duduk atau jongkok di area ini.

Tapi nasib kurang baik pagi ini. Area favoritku itu sudah ditempati. Di bagian kiri seorang petugas keamanan perempuan. Di bagian kanan juga seorang petugas keamanan perempuan. Bah, batinku. Pintu batas juga tak ditutup. Di tengah pintu batas, seorang pria yang juga seorang petugas kebersihan kereta ada di sana. Bertiga mereka membentuk barikade. Sambil cengengesan ketiga orang itu melihat salah satu telepon genggam temannya. Entah apa yang mereka lihat atau baca, yang setelahnya, mereka cekikikan.

Aku berusaha meletakkan backpack di rak atas. Sedikit kesusahan karena sudah banyak tas di sana. Setelah tas aman, aku mengambil posisi di dekat pintu sambil mataku melanglang mencari tempat yang cukup strategis untuk berdiri. Ah, tak ada tempat yang asoy pagi ini. Kereta terus melaju.

Kereta berhenti di stasiun berikutnya. Sebelum serbuan penumpang perempuan dari luar -yang biasanya lebih gahar dari para lelaki- aku segera merapat ke dekat mbak-mbak petugas keamanan tadi, berharap mereka bergerak menuju pintu masuk- seperti biasa yang dilakukan para petugas di tiap rangkaian gerbong. Tapi ternyata mereka tak bergerak - tak seujung kakipun bergeser. Si mas petugas kebersihan masih nangkring di tengah pintu batas. Tubuhku terdorong keras, hingga tak berjarak dengan salah satu mbak petugas keamanan yang berdiri di pojok kiri- sebut saja namanya Bunga.

Sementara itu, seorang perempuan muda yang baru masuk berusaha melemparkan tasnya ke rak tas. Tapi tak berhasil, meski juga sudah dibantu beberapa perempuan lainnya. Maklumlah, rak-rak tas itu sudah penuh, dan para perempuan itu rada mungil. Mbak petugas bernama Bunga itu hanya diam saja demi melihat itu. Begitu juga mbak satunya yang di pojok kanan- sebut saja namanya Melati, juga tak bereaksi membantu. Mereka hanya menonton beberapa perempuan di depanku yang berusaha menempatkan tas-tas itu dengan baik- agar tak jatuh menimpa para penumpang yang berdiri di bagian depan.

Di tengah kesusahan para perempuan yang mengatur tas-tas di rak atas itu, tiba-tiba si mas petugas kebersihan nyeletuk.

“Ditarik saja tas kuning yang di bawah itu, biar yang lain gak jatuh”.

Perempuan di depan pemilik tas yang dari tadi membantu itu menarik bagian tas kuning yang dimaksud. Tapi tidak berhasil.

“Coba tarik dari bawah. Kalo tas kuning itu tidak ditarik, bakal jatuh deh semua”, tambahnya lagi. “Ya..ya..begitu.” Para perempuan mungil itu berusaha menarik-narik bagian tas kuning itu dari celah-celah bawah rak.

Nyinyirku kumat.

“Eh mas, jangan ngomong aja dong. Ya dibantu, kan mas tinggi tuh.”

Kami saling bertatapan penuh kebetean. Sedetik kemudian dia bergerak maju. Menerobos kerumunan perempuan di depanku. Sekali tarikan tangan, beres sudah tas-tas itu. Si mas petugas kebersihan itu kemudian mundur teratur. Balik lagi ke tempat tongkrongannya tadi yang sudah kutempati. Demi melihat aku sudah di sana, dia melengos dan mengambil tempat di belakangku. Terdengar pengumuman dari ruang masinis, kereta akan segera masuk ke stasiun berikutnya.

Kereta berhenti. Semua penumpang perempuan di dekatku waspada, berdiri dengan posisi kuda-kuda siap siaga. Berjaga-jaga, menahan serbuan dari luar yang segera akan datang.

“Mbak, pintunya ditutup saja. Nanti kita nggak bisa nahan dorongan,” ujar mbak di sampingku pada Bunga. Melati dari pojok kiri sigap, segera mendorong pintu pembatas. Si mas petugas kebersihan mundur selangkah. Bunga menarik handle pintu pembatas. Rap- pintu ditutup. Serbuan datang. Tubuh tipisku terdorong, terjepit, terhimpit. Bunga dan Melati berdiri mematung di sana, juga terjepit.

Si mas petugas kebersihan kemudian mengetuk-ngetuk pintu pembatas. Bunga membuka pintu, ada celah sedikit terbuka di sana.

“Ada yang hamil. Ada kursi nggak?” tanya seorang penumpang laki-laki yang tiba-tiba menyeruak.

“Ada, berapa orang?” jawab Bunga

“Satu.”

Dari belakang laki-laki itu muncul seorang perempuan muda. Dia menghalangi perutnya dengan tas yang dibawanya. Tiba-tiba ada semacam rasa ngilu di perutku muncul melihat perut buncit perempuan itu agak terjepit di antara kerumunan penumpang. Perempuan itu akhirnya berhasil duduk dengan susah payah.

“Ngomong aja, tapi nggak mau nyariin,” omel laki-laki itu entah pada siapa sembari menutup pintu pembatas. Bunga melirik Melati. Tak ada ekspresi di sana.

Stasiun demi stasiun dilewati. Ada penumpang yang naik, ada penumpnag yang turun, Ada yang mengambil tas, ada yang meletakkan tas di rak atas. Ada ibu hamil yang mencari tempat duduk, ada ibu tua yang mau turun, ada ibu bawa anak yang terjepit dan si anak menangis. Tapi Bunga dan Melati tak pernah bereaksi apa-apa. Mereka hanya melihat, menonton. Satu setengah jam aku di sana, berdiri mengamati Bunga dan Melati. Ada 18 stasiun yang kulewati. Tapi tak pernah kulihat kedua petugas perempuan itu membantu penumpang yang kesusahan dengan sepenuh hati.

Sungguh, keberadaan mereka hanya membuat sesak gerbong kereta pagi tadi. Tak ada jiwa melayani di sana. Tak ada rasa ingin berbuat sesuatu untuk membantu penumpang. Entah apatis, entah frustasi, entah tak peduli. Hanya terdengar suara agak tertahan ketika salah satu dari mereka terjepit dengan sangat - yah gini nih kalo lagi tugas negara. Bah!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun