Mohon tunggu...
KA Widiantara
KA Widiantara Mohon Tunggu... Dosen - Praktisi dan Akademisi Komunikasi-Media

Praktisi dan Akademisi Komunikasi-Media

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Membangun Kepercayaan Media Mainstream di Tengah Pandemi

3 April 2021   08:15 Diperbarui: 3 April 2021   08:20 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak merebaknya Covid-19 pada pertengahan Maret 2020 lalu di Indonesia, virus ini menjadi teror dan momok bagi masyarakat. Berbagai aktivitas keseharian dan denyut ekonomi lumpuh. Ihwal ini diperparah dengan akselerasi informasi seputar Covid-19 di berbagai saluran informasi seperti media sosial yang tidak valid. 

Informasi yang beredar luas  seputar virus mematikan ini bias. Riuh rendahnya perbincangan atas penyebaran Covid-19 di ruang publik begitu masif. Tidak sedikit publik (baca: netizen) di media sosial begitu mudah  percaya dengan tautan informasi hoax yang mana sumbernya tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Media  mainstream atau media  arus utama  idealnya  menjadi "juru selamat" atas pemberitaan menyimpang dan tidak mendidik  bagi publik. Hal ini menjadi kewajiban  moril dan fungsi sebuah media.  Namun, hal tersebut bukanlah perkara mudah. Media mainstream nampaknya  tidak bisa membendung semua informasi  hoak di media sosial. 

Parahnya lagi masyarakat lebih memercayai informasi dari media sosial daripada media arus utama. Tentu hal ini diperkeruh dengan hadirnya   media daring aba-abal  berformat clickbait yang  berseliweran di media sosial. 

Jurnalisme clickbait, saat ini menjadi tren sekaligus  strategi bagi pengelola new media untuk mengejar rating sekaligus menggugah naluri rasa ingin tahu  pembaca agar berlomba-lomba mengakses pemberitaan online dengan judul berita yang emosional, bombastis dan memantik empati. Tujuannya tidak lain untuk merengkuh iklan dan keuntungan sebesar-besarnya.           

Covid -19 menjadi tantangan terbesar media mainstream untuk memberikan informasi sehat bukan menyesatkan publik.  Media arus utama belum bisa menahan laju informasi keliru dan bohong tentang virus Corona  yang kian  berkembang dan berbanding  berbanding lurus dengan masifnya pemberitaannya. Hal inilah yang dikenal dengan istilah infodemic. 

Laporan Kompas.id memberikan gambaran  terkait infodemic Covid-19. Ada ratusan korban meninggal dunia karena mengikuti anjuran keliru untuk mengobati Covid-19 di berbagai Negara. 

Setidaknya 800 orang meninggal di seluruh dunia karena kesalahan informasi terkait Covid-19 dalam tiga bulan pertama tahun ini. Banyak korban meninggal karena mengikuti anjuran keliru untuk mengobati penyakit yang disebabkan virus korona baru ini. Indonesia menempati peringkat paling banyak menyebarkan informasi keliru ini.

Hasil kajian ini ditulis Md Saiful Islam dari Program for Emerging Infections, Infectious Diseases Division, Bangladesh, dan para peneliti lain dari sejumlah negara di American Journal of Tropical Medicine and Hygiene edisi 10 Agustus 2020 yang dikutip kompas.id Kajian tersebut mengulas, selain 800 korban meninggal, tim peneliti ini menemukan sekitar 5.800 orang dirawat di rumah sakit akibat informasi palsu tentang penyembuhan Covid-19 di media sosial. 

Pengamatan  penulis, mengidentifikasi 2.311 infodemik atau informasi keliru terkait Covid-19 dalam 25 bahasa dari 87 negara dalam periode 21 Januari hingga 5 April 2020. Dari jumlah tersebut, 2.049 atau 89 persen laporan diklasifikasikan sebagai rumor, 182 atau 7,8 persen adalah teori konspirasi, dan 82 atau 3,5 persen adalah stigma. Dalam kajian tersebut bias ditarik kesimpulan bahwa infodemik mendominasi informasi pemberitaan palsu tentang serba-serbi Covid-19.

Di antara semua kategori informasi yang dilacak, 24 persen terkait penyakit, penularan, dan kematian. Sebanyak 21 persen terkait intervensi, 19 persen untuk pengobatan dan penyembuhan,15 persen untuk penyebab penyakit termasuk asalnya, 1 persen terkait kekerasan, dan 20 persen untuk lain-lain. Dari 2.276 informasi yang ditemukan, 1.856 atau 82 persen merupakan klaim salah, 204 atau 9 persen berbasis bukti, 176 atau 8 persen menyesatkan, dan 31 atau 1 persen tidak terbukti. Sebagian besar rumor, stigma, dan teori konspirasi secara berurutan berasal dari India, Amerika Serikat, China, Spanyol, Indonesia, dan Brasil. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun