Mohon tunggu...
Bayu Setiawan
Bayu Setiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Seorang pahlawan pisang goreng dengan makanan favorit telur setengah matang buatan mama. Anti sama Lurah mata duitan!.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wartawan Rasa Preman

24 Maret 2016   12:33 Diperbarui: 24 Maret 2016   12:42 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Beberapa waktu lalu, mencuat kasus pemerasan yang dilakukan oknum wartawan terhadap banyak kepala sekolah di Lampung Tengah.  Buntut dari tindakan pemerasan wartawan terhadap Kepala sekolah itu sangat mencengangkan, kepala sekolah yang mengundurkan diri dari jabatannya menurut laporan Dinas pendidikan Lampung Tengah mencapai 88 orang.  Fantastis, sebuah prestasi yang tidak patut dibanggakan.

Kita tentu sudah tidak asing dengan berita pemerasan wartawan terhadap orang-orang dengan banyak sekali modus yang digunakan, mulai dari minta sumbangan kegiatan, proposal kemitraan, sampai mencari celah hukum untuk memeras orang. 

Penulis sendiri sebagai pelaku usaha di bidang agrikultural yang ada di Lampung Tengah, bukan sekali dua kali didatangi wartawan, bahkan pada awal membuka usaha itu banyak sekali oknum wartawan yang ingin ‘minta waktu’ penulis untuk sekedar minta sumbangan, proposal kemitraan, hingga ada yang mencoba mengancam dengan menyerang masalah perizinan. 

Semua oknum wartawan yang datang itu terlihat lucu sekali dalam pandangan penulis.  Sebab, tidak hanya kelengkapan atribut mereka yang ditonjol-tonjolkan semisal surat kabar, id card, dan ‘surat tugas’, yang mana itu terlihat menggelikan.  Tapi apa yang mereka lakukan sebagai oknum wartawan tidak menunjukan tupoksi mereka sebagai seorang wartawan yang tugas utamanya adalah mencari warta(berita).  Maka, dalam hal ini, lebih tepat lah penulis katakan bahwa oknum-oknum wartawan ini cenderung berlaku premanisme, wartawan rasa preman.  Penulis sendiri masih sangsi apakah mereka itu wartawan betulan atau Cuma mengaku-ngaku saja.

Sebenarnya, bukan hal yang sulit untuk ‘mengusir’ oknum wartawan nakal yang coba mencari warta(baca:uang jatah) seperti itu.  Berdasarkan pengalaman penulis, sebenarnya apa yang mereka kerjakan selain sudah berada di luar jalur, pemerasan dalam bentuk apapun adalah wujud pelanggaran hukum. 

Kebanyakan modus yang penulis temui, yaitu minta sumbangan, adalah hal yang tidak pada tempatnya, sebab hal itu jelas bukan kapasitas seorang wartawan datang meminta sumbangan.  Selain itu, hendaknya kita melihat betul bentuk proposal yang kadang mereka bawa untuk dijadikan sebagai alat untuk mendulang uang. 

Banyak penulis temui, proposal bisa dalam bentuk pelatihan jurnalisme dan alasan sedang menggalang dana sponsor, padahal, ketika penulis konfirmasi ke organisasi yang bersangkutan(dalam hal ini PWI), tidak ada kegiatan semacam itu yang meminta sumbangan kepada masyarakat karena itu adalah kegiatan intern.  Harusnya, kita juga memiliki akses ke organisasi resmi wartawan sehingga dapat melakukan verifikasi terkait penyimpangan yang ada di lapangan, sehingga kita bisa dengan mudah menolak sumbangan semacam itu.

Kemudian yang terpenting adalah pengetahuan tentang hukum.  Kita sebagai warga negara yang memiliki hukum harus mengerti benar celah-celah apa saja yang bisa dimanfaatkan orang lain untuk memeras kita, tidak hanya wartawan, terkadang oknum aparat bisa saja melakukan hal itu didasari oleh pengalaman yang sudah-sudah.  Pengetahuan tentang seluk-beluk hukum yang masih minim bagi banyak masyarakat kita acap kali dimanfaatkan oleh oknum wartawan yang dianggap punya power  dalam menyebarkan suatu wacana, sehingga, dalam keadaan tertekan masyarakat lebih mudah dipalak oleh oknum wartawan daripada dipalak oleh preman perempatan.

Penulis memahami fenomena yang terjadi sekian lama ini lebih kepada kurang sadarnya aktualisasi diri para pengejar warta terhadap apa tanggung jawab yang mereka emban.  Kondisi yang memungkinkan oknum wartawan untuk melakukan premanisme juga bisa disebabkan karena meniru apa yang telah senior mereka lakukan, hal ini juga terkait dengan sistem pengkaderan.

Kesejahteraan wartawan yang masih kurang diperhatikan juga memicu ‘kreatifitas’ oknum untuk berbuat nekat dengan perhitungan apa yang bisa mereka lakukan jika masyarakat menolak memberikan ‘jatah’, perhitungannya, lebih baik bayar sekian daripada reputasi hancur lebur karena masuk berita atas hal-hal yang tidak baik.  Padahal, apa yang oknum wartawan lakukan itu tidak lebih dari adu mental dan peruntungan, karena jika tidak berhasil menjerat korbannya, maka resikonya sudah pasti masuk bui atau masuk dalam DPO.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun