Hari ini saya dipercaya sebagai salah seorang nara sumber dalam kegiatan sosialisasi undang-undang yang terselenggara atas kerjasama badan legislatif, kementerian, Â dan institusi pendidikan. Saya memaparkan tentang peluang dan tantangan pemberdayaan di era revolusi digital, sementara dua nara sumber lainnya membagikan pengalaman mereka sebagai pemilik kolam uang digital yang sukses di usia mereka yang masih tergolong sangat muda. Adapun narasumber lainnya berbicara tentang regulasi dan peran pemerintah dalam pemberdayaan.
 Bagi saya pribadi, forum ini sangat menarik, karena tidak melulu membicarakan bagaimana kondisi ideal yang seharusnya, melainkan juga menampilkan kondisi nyata di lapangan. Latar belakang keilmuan dan pengalaman narasumber yang beragam membuat forum ini sangat berwarna. Dua anak muda sukses dengan segudang pengalaman tentu saja menjadi sumber inspirasi berharga dalam mencerdaskan anak bangsa.
Lebih kurang tiga jam forum digelar. Selama lebih kurang tiga jam itulah kami bergantian bicara dengan durasi yang berbeda-beda. Banyak informasi, banyak motivasi, dan banyak inspirasi yang dibagikan. Semuanya tidak lain untuk pemberdayaan. Saya membayangkan bahwa setelah mengikuti forum ini, para peserta yang umumnya berstatus mahasiswa akan terbangkitkan semangatnya. Saya yakin para peserta telah terbuka wawasannya untuk berusaha dan mengoptimalkan segala daya serta peluang yang ada. Sayangnya, perkiraan saya salah.
Saat sesi tanya jawab tiba, dua orang peserta diberikan kesempatan bertanya kepada dua nara sumber muda. Dugaan saya, tentu para peserta masih penasaran tentang bagaimana cara sukses di usia muda. Meskipun pembahasan sudah sedemikian mantap dan mengena, yang namanya forum biasanya memang selalu ada sesi untuk bertanya. Sungguh saya kecewa dengan dua penanya. Pertama, pertanyaannya tak mencerminkan karakteristik sebagai mahasiswa, yang kritis namun beretika. Kedua, secara tidak sadar mereka telah menelanjangi dirinya dengan sikap pesimis dan alibi yang menunjukkan bahwa mereka memang tidak punya kesadaran diri untuk mengubah nasib sendiri. Dan yang ketiga, mental pengemis masih belum terkikis dari diri mereka. Alih-alih menanyakan tips atau langkah-langkah strategis untuk menjadi kreatif dan inovatif, mereka malah menanyakan ada tidaknya bantuan pemerintah, semacam dana pembinaan untuk merangsang minat mahasiswa agar mau berusaha. Sungguh, pertanyaan yang membuat miris.
"Hari gini, mahasiswa masih jadi pengemis, apa kata dunia? Hari gini, mahasiswa masih bergantung pada bantuan pemerintah, kapan mandirinya? Hari gini, mahasiswa belum juga bangkit dan berusaha, apa masih pantas disebut generasi harapan bangsa? Hari gini, mahasiswa masih pasrah pada nasibnya dan merasa tidak ada masalah, apa bukan loba namanya?" Rentetan pertanyaan yang lebih tepat disebut ekpresi kejengkelan terus memenuhi ruang batin saya. Tiga jam yang kami habiskan dengan "mulut berbuih" dan  kerongkongan perih ternyata tak mampu menumbuhkan benih optimisme dan sikap pantang menyerah di kalangan mahasiswa. Jangankan menjadi agen perubahan di masyarakat, pola pikir dirinya sendiri saja masih sesat.
Refleksi nurani, JWS. Rizki
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H