Mohon tunggu...
Jusmalia Oktaviani
Jusmalia Oktaviani Mohon Tunggu... -

Book lovers

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Daerah dan (Tanpa) Generasi Muda

10 Juli 2012   16:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:06 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kutai Kartanegara bukan hanya terkenal karena sumber daya alam yang melimpah. Kebudayaan di tanah Kutai pun cukup beragam. Ada berbagai macam suku yang tersebar di seluruh Kukar, diantaranya suku-suku dayak, banjar, bugis, melayu, dan sebagainya. Daerah ini juga ada Kesultanan yang dihidupkan lagi di zaman Pak Syaukani HR, saat ini mantan Bupati Kukar. Pihak Keraton Kutai Kartanegara, atau pihak istana, semenjak itu kembali memegang peranan penting dalam tiap-tiap upacara adat, termasuk upacara Erau, suatu upacara adat tahunan yang menjadi kebanggaan masyarakat Kota Raja ini.




Saya sendiri sangat bangga dan senang dengan adanya Festival Erau. Saya sangat ingin tahu tentang kebudayaan ini. Saya pun memuaskan keingintahuan saya dengan banyak membaca tentang Erau dan juga dari pengalaman saya KKN di Dinas Pariwisata.


Seperti biasa, setiap tahun di bulan Juli, Festival Erau pun dilaksanakan. Saat itu Festival Erau Pelas Benua Etam 2012 masih berlangsung. Sebagai seorang pengajar bahasa inggris, festival erau ini sepertinya topik yang bagus. Hmmm, bisa jadi topik menarik nih, begitulah pikir saya, saat saya harus mengajar nanti. Metode kami memang mengharuskan brainstormingterlebih dahulu, jangan langsung membuka buku atau membahas kerumitan-kerumitan grammar.


Saya pun memutuskan Erau menjadi tema diskusi ringan di lima belas menit pertama.
Percakapan tentu dilakukan dalam bahasa inggris, namun untuk kepentingan penulisan, saya menulis percakapan dalam bahasa Indonesia.


Pertanyaan pertama saya pada mereka sebenarnya sederhana,“Kalau mendengar kata Erau, apa yang terbersit di benak kalian?”
Suasana hening. Murid-murid hanya bisa menjawab sepotong-sepotong. Belimbur. Naga. Bahkan lebih parah lagi, I don’t know, miss.


Saya langsung shock. Masa’ mereka nggak ngerti apa-apa tentang Erau? Murid saya rata-rata kelas 2 atau 3 SMA. Artinya, mereka hidup 16 sampai 17 tahun di Tenggarong. Dan mereka tidak paham Erau itu apa?! Hmmm.


Saya masih penasaran, dan saya kembali melontarkan pertanyaan-pertanyaan pengetahuan umum tentang Kukar.
“Tahu nggak, siapa nama Raja Kutai Kartanegara yang pertama?”
Tak ada sambutan, tak ada gumaman, semua murid saling berpandangan. Yap, tak ada yang tahu. Oke, nobody knows. Mungkin saya terlalu jauh bertanya, pikir saya saat itu.
“Ya sudah, ntar aja deh jawab pertanyaan yang itu. Coba jawab yang ini dulu, Siapa nama Sultan Kutai saat ini? Coba jawab pertanyaan ini?!”
Anak-anak itu saling menggelengkan kepala. Wajah mereka merah dan mereka pun menunduk-nunduk malu. Glek! Saya kaget karena tak ada satupun yang bisa menjawab. Bagaimana saya bisa bertanya tentang Raja pertama, kalau raja saat ini, yang masih hidup saja mereka tak tahu namanya??


Saya tahu bahwa godaan mereka lebih banyak daripada kita dulu. Hiburan mereka juga lebih banyak. Tugas dan kewajiban dari sekolah juga lebih menumpuk. Di sekolah juga tak ada lagi muatan lokal yang mengajarkan budaya daerah yang nyata-nyata ada di hadapan mata. Dan akhirnya mengenali sesuatu yang sangat dekat, yaitu budaya daerah sendiri, misalnya saja Erau, menjadi sesuatu yang terasa ‘kurang penting’.


Padahal, anak-anak muda inilah yang nanti jadi orang-orang penting di tanah ini. Mereka yang akan meneruskan dan melestarikan budaya Kutai. Tapi, dari semua kelas yang saya ajar, jawabannya serupa. Tak ada satu anak pun yang benar-benar paham tentang Erau. Saya jadi cemas bukan kepalang.


Akhirnya, saya pun ‘meracuni’ mereka. Sejujurnya, saya ceramah. Saya suruh mereka semua mencari di google. Bersyukurlah sekarang ada internet. Apa sih, yang tidak ada di internet? Saya yakinkan mereka bahwa mengetahui dan mengerti budaya sendiri itu tak bakal rugi.


Untuk pemuda-pemudi lain yang juga punya budaya khas di daerahnya, kenali dan cintai budayamu. Jangan lagi diam dan tidak peduli. Jangan menganggap budaya itu hanya kepunyaan orang-orang tua. Bisa mengenal atau melestarikan budaya tradisional adalah suatu keuntungan.


Contohnya, ayah saya dan lembaga seni tradisionalnya. Beliau dan lembaga seninya sudah berkali-kali diundang ke berbagai daerah di Indonesia bahkan pernah sampai ke Belanda. Hanya karena mereka membawakan tari dan musik  tradisional, yaitu musik Tingkilan dan tari-tarian khas Pedalaman dan Pesisir.
Bukan berarti seni modern atau kontemporer itu tidak baik, namun persaingannya terlalu besar dan banyak. Selain itu, orang ‘Barat’ juga punya yang seperti itu. Bahkan mereka lebih baik dari kita. Kita mau ‘go internasional’ dengan lagu pop, R n B, rock, atau jazz? Bukan tidak mungkin, tapi lihat pesaing kita di luar sana. Begitu banyak!


Berbeda dengan seni tradisional yang memang unik, tidak ada duanya, dan dicari orang karena langka. Di Eropa atau Amerika sana, tidak ada orang dayak dengan telinga panjang. Di sana, tidak ada tari Tor-tor. Di benua sana, tidak ada yang namanya kain songket. Mereka rela membayar, untuk melihat keunikan budaya kita. Tak heran, jika Bali sangat dipuja wisatawan. Lihatlah keindahan alam berpadu dengan keunikan budayanya. Ditambah lagi tradisi yang indah itu juga masih melekat dalam kehidupan masyarakat Bali walaupun turis-turis asing terus berdatangan ke Pulau Dewata.


Oleh karenanya, jangan malu, jangan gengsi, jangan sungkan, untuk mencintai budaya daerah sendiri.
Bagaimana kalau suatu hari budaya ini diklaim negara sebelah? Apakah setelah diklaim baru kita grasak-grusuk mencari tahu?
Bukankah pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang? Bagaimana bisa kita cinta budaya daerah, jika untuk kenal saja kita enggan?


Tidak usah menunggu dan mengomel pada pemerintah atau Dinas Pariwisata. Kitalah yang harus bertindak. Lakukan sesuatu untuk daerah kelahiranmu. Gunakan internet, promosikan dan sebarkan keindahan budaya milik kita. Jadilah ‘duta’ bagi daerahmu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun