Mohon tunggu...
Jusmalia Oktaviani
Jusmalia Oktaviani Mohon Tunggu... -

Book lovers

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mungkin Nanti

11 Februari 2015   20:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:25 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perairan luas nan biru jernih di mataku. Di sini dingin namun perasaanku hangat. Sosok Samuel di sampingku-lah penyebab anomali ini.

Aku harus menekankan terlebih dahulu bahwa kami bukan kekasih. Pria di sampingku ini yang sering dipanggil Sam, adalah laki-laki pendiam berusia 30-an dengan wajah tirus bermata tajam bagai elang. Dia bukan tipe pria yang menarik bagi setiap wanita, bahkan banyak temanku yang mengatakan dia terlalu dingin.“Dia itu mungkin gay, Bi.” Tris, kawan karibku di kantor mewanti-wanti saat akhirnya kuungkapkan aku mungkin jatuh cinta pada sosok Sam, yang bekerja di kantor bawah.“Bukankah kau pernah bilang kita tidak bisa memilih kepada siapa kita jatuh cinta? ” Aku berdalih. Tris angkat bahu, tidak mampu melawan kata-katanya sendiri.”Iya, sih.” Kemudian sambil memandangku dengan iba ia bertanya,”Lalu perasaanmu mau kau apakan?”

“Aku tak akan melakukan hal gila, kok!” ucapku sambil tertawa-tawa,”aku cuma akan mulai dengan hal yang simpel saja dulu.  Aku ingin kenalan dan berteman.  Kalau memang jodoh, pasti tak akan kemana.” Aku mengucapkan kata-kataku dengan optimis.
Padahal, aku memang belum berteman dengannya secara resmi. Aku dan dia hanya saling bertemu dalam rapat atau pertemuan antar kantor.  Aku bahkan tidak yakin dia ingat bahwa aku ada.

“Itu baru namanya semangat.” Tris menepuk punggungku, menyemangati.
Lalu Tris mengungkapkan bahwa kantor kami akan mengadakan darmawisata akhir tahun.  Dan biasanya seluruh karyawan disarankan untuk ikut.  “Kamu bisa mulai dari sana, Bi.” Tris menyuruhku untuk memanfaatkan momen darmawisata selama 5 hari itu untuk bisa berkenalan dan lebih dekat dengan Sam. Aku mengangguk-angguk menyetujui.

Tapi begitulah, melakukan selalu tak semudah mengucapkan. Ternyata aku terlalu kikuk, grogi, dan takut. Mengajak seorang pria berkenalan ternyata tidak mudah. Lagipula, Sam selalu bersama teman-temannya. Begitupun aku. Alhasil aku dihantui kegagalan karena hingga kami di bandara dan naik pesawat untuk pulang, aku masih tidak berani mendekat, menyapa, dan berbasa-basi.
Hingga sebuah kesempatan emas dihadapkan padaku, aku ternyata duduk di samping Sam di pesawat, yang belakangan aku ketahui, adalah hasil dari upaya Tris. Sebagai pengumpul tiket kami, ia sengaja memasangkan aku dengan Sam duduk bersebelahan.Setelah itu barulah interaksi terjadi di antara kami.

*

“Kamu diam-diam menguntitku, kan?” Pertanyaan Sam yang sangat ringkas, padat, akurat, segera mengembalikanku dari lamunan kilas balik tadi. Aku merasa malu sekali, namun mengelak juga percuma. “Kok tahu?” tanyaku dengan nada khas pelawak, sambil menghilangkan nada grogi.
“Pasti tahu. Kamu juga tahu kan perasaan seperti dada yang tergelitik kalau ada yang memandangi kita?” Aku terkekeh. “Aku ingin berteman denganmu, Sam.”
“Sekarang sudah.” Sam menjawab tulus.
“Ah ya, sekarang sudah.” Aku membeo.
“Aku hanya berharap kamu melakukannya lebih cepat, Bi.”

Kemurungan melandaku setelah kalimat Sam itu.”Kamu benar, dan waktu tidak bisa diulang.”
“Sam, tapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?” lanjutku.
Sam menatapku dengan mata tajamnya. Namun terkandung kesedihan yang begitu polos dan murni di dalam matanya. “Sudah waktunya.” Wujudnya seakan memudar setelah ia berkata seperti itu.”Aku telah ditemukan Bi, aku bisa merasakannya.”
Aku bisa melihat wujudnya yang seakan Semakin lama semakin transparan. Seakan ia akan lenyap dan kemudian menghilang. Aku tak sanggup berkata apa pun.”Sangat menyenangkan mengobrol bersamamu, Bi. Kuharap, kita masih punya banyak waktu…dan tidak dalam keadaan seperti ini…seperti kehidupan pada umumnya, kau tahu.” Suara Sam sedikit bergetar, entah karena emosinya, atau karena eksistensinya yang semakin lenyap.
“Mungkin di waktu yang lain. Kesempatan lain.” Ada yang mencekat sehingga suaraku berubah menjadi bisikan lemah, “Dunia lain.” Aku mengungkapkan kata-kata terakhirku, dan dengan segera sosok Sam lenyap. Aku sempat melihat senyum tipisnya sebelum lautan seakan menelannya.
Aku bisa merasakan wujudku juga semakin memudar, berada dalam keadaan ada dan tiada. Aku duduk di sebelah Sam di pesawat. Jika orang-orang menemukan jasad Sam, maka mereka akan menemukan jasadku juga, badan harfiah kami yang terikat kuat dengan sabuk pengaman, namun teronggok di dasar lautan. Aku bisa merasakan jasmaniku diangkat perlahan, seiring dengan wujud keberadaanku yang pelan-pelan menipis, dan akhirnya lenyap–meninggalkan laut biru dan hijau yang menjadi pemandanganku dan Sam, entah untuk berapa lama dalam dimensi waktu manusia hidup.

Aku berharap aku akan menyusul Sam.

Cerpen ini telah dimuat dalam blog penulis : juzzythinks.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun