[caption id="attachment_135895" align="alignright" width="225" caption="Angkringan dekat kos dengan nasi kucing dan lauk-pauknya. (Sumber: Dokumentasi Pribadi 2010)"][/caption]
Pada suatu ketika, di saat kantong sedang kering namun perut meronta-ronta untuk diisi makan, langkah kaki saya akhirnya bergegas ke angkringan terdekat atau lebih dikenal sebagai warung hek. Angkringan atau hek merupakan tempat makan mobile berupa sebuah gerobak yang biasa nangkring di pinggir jalan dan menjual beraneka makanan dan minuman dengan porsi kecil. Karena porsi kecil tersebut, maka nasi bungkusnya menjadi terkenal dengan sebutan nasi kucing. Angkringan-angkringan banyak terdapat di kota-kota di Jawa Tengah khususnya Solo dan Yogjakarta karena masyarakatnya memang sering keluar rumah untuk sekedar ngobrol dan berkumpul bersama. Di sini, angkringan menjadi salah satu alternatif utama karena harganya yang cukup miring dengan menu makanan dan minuman yang cukup lengkap serta jam buka yang seringkali bisa sampai dini hari.
Ya, angkringan atau warung hek memang menawarkan sebuah oase bagi mahasiswa-mahasiswi yang sedang berkantong cekak. Maklum sudah tanggal tua dan belum dapat kiriman dari orang tua. Untuk pria, pada umumnya menghabiskan 2-3 bungkus nasi kucing. Saya dan kebanyakan wanita lainnya, cukup satu saja. Satu bungkus nasi oseng ditambah dua tempe goreng dan es teh kampul atau ice lemon tea cukuplah untuk mengenyangkan perut. Untuk sekedar informasi, di sini nasi oseng dibungkus dengan kertas minyak lalu untuk lapisan luarnya dibungkus lagi oleh kertas biasa. Lazimnya, kertas yang biasanya digunakan adalah kertas yang sudah dipakai sebelumnya atau kertas bekas.
Melanjutkan kisah nyata di awal, ketika sedang melahap nasi oseng dengan lauk tempe goreng dan tahu bacem yang masih panas, saya suka isengmembaca kertas yang membungkus nasi kucing tersebut. Dari kegiatan isengtersebut, saya sering menjumpai informasi-informasi aneh. Ada kalanya saya menemukan soal-soal matematika tingkat sekolah dasar, berita bola hingga iklan obat kuat. Informasi gratis nan ajaib dan bisa didapatkan sambil makan pula. Sungguh menyenangkan. Namun, yang membuatacara kunjungan rutin akhir bulan ke hek sambil iseng membaca pada waktu itu berbeda dari biasanya adalah saya merasa sangat familiar dengan kertas nasi bungkus yang sedang saya baca. Font yang digunakan adalah verdana, font favorit saya. Informasi di halaman tersebut membahas tentang perancangan ulang suatu lokasi di Solo. Sangat familiar dan begitu saya melihat footer atau keterangan bagian bawah halaman tersebut, betapa terkejutnya saya karena jelas-jelas tercetak nama dan nomer induk mahasiswa saya dengan jelas.
Ya, kertas bungkus nasi kucing tersebut berasal dari draft konsep tugas akhir saya (skripsi). Beberapa hari sebelumnya saya memang menaruh tumpukan kertas draft konsep yang sudah tidak terpakai di depan kamar kos saya dan esoknya tumpukan kertas tersebut raib. Maka, pada saat insiden penemuan kembali kertas draft konsep yang cukup bersejarah itu, sayapun akhirnya mengetahui ke mana hilangnya kertas-kertas draft saya. Ternyata kertas-kertas draft konsep saya telah dimodifikasi dan bermetamorfosa menjadi pembalut nasi kucing. Untuk menghindari kerutan dahi dan tatapan aneh dari para sesama penikmat nasi kucing, waktu itu saya lebih memilih tertawa dalam hati. Rasanya terlalu berlebihan untuk bergembira karena menemukan kertas sendiri.
Dari insiden kecil tersebut, saya jadi berpikir, ternyata secara tidak langsung skripsi saya telah berjasa bagi pembuat dan penjual nasi bungkus atau nasi kucing. Mereka tidak perlu membeli kertas baru maupun kertas bekas dari tukang loak untuk pembalutan akhir dagangan mereka. Bayangkan, jika tugas seorang mahasiswa yang bisa mencapai 100 halaman maka secara nggak langsung tugas tersebut telah berjasa membuat 100 nasi bungkus. Di sini, terlepas dari penilaian baik-buruk atas hasil akhirnya, penggunaan kembali kertas-kertas menjadi pembungkus nasi merupakan salah satu bentuk dari slogan 3R. Kegiatan-kegiatan re-use, reduce dan recycle dapat membantu melestarikan dan menjaga keberlangsungan lingkungan. Seperti kita ketahui, penanggulangan sampah memang sesuatu yang ‘gampang-gampang susah’ untuk ditangani karena masih banyak faktor yang belum mendukungnya. Mulai dari perilaku masyarakat hingga fasilitas daur ulang yang belum memadai.
Namun demikian, kita tidak boleh tunduk pada keadaan begitu saja. Sebuah tindakan walau kecil tentu dapat mempunyai manfaat yang besar dan berguna bagi masyarakat apabila ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya. Kertas, walau hanya benda kecil, ia mampu berkontribusi bagi penggunanya baik ketika dalam keadaan baru maupun ketika sudah terpakai. Selain untuk pembungkus makanan dan dagangan lainnya, kertas-kertas bekas juga bisa disumbangkan untuk kemudian didaur ulang menjadi barang-barang layak pakai mulai dari kantong belanja hingga aksesoris yang lucu-lucu.
[caption id="attachment_135900" align="aligncenter" width="275" caption="Kantong belanja dari kertas daur ulang. (Sumber: http://www.beckdale.co.uk/paper_carrier_bags/recycled_carrier_bags_paper.gif)"][/caption] [caption id="attachment_135908" align="aligncenter" width="294" caption="Sampul buku dari hasil kerajinan kertas daur ulang. (Sumber: http://greatergoodsonline.com/shop/images/3pr4recyjrnls.jpg)"][/caption]
Tahukah anda, ternyata sudah cukup banyak warga kita yang mendapatkan keuntungan dari usaha kertas bekas dan daur ulang kertas. Salah satunya adalah Joko Santosa dari Yogyakarta yang telah berhasil meraih kesuksesannya dengan menjadi pengusaha kertas bekas. Awalnya, beliau memulai usahanya dengan mengumpulkan kertas bekas dari pasar-pasar tradisional dan kemudian menjualnya kembali ke perusahaan maupun pengusaha daur ulang kertas. Dengan berlalunya waktu beliaupun semakin jeli untuk mendapatkan sumber usahanya hingga ia dapat memperoleh kertas bekas dari kantor-kantor pemerintah maupun swasta. Kertas-kertas tersebut dibeli dengan harga rendah dan kemudian dijual dengan harga tinggi sehingga bisa mendapatkan keuntungan sampai 100% bahkan lebih. Kini, bisa dikatakan Joko Santosa telah menjadi jutawan kertas dengan tenaga kerja kurang lebih 40 orang yang siap mengepul dapur usahanya.
Dari kisah ketidaksengajaan saya dan kisah sukses Joko Santosa di atas, saya terinspirasi untuk melakukan suatu ‘langkah kecil.’ Kali ini saya dengan sadar menyumbang tugas-tugas serta fotokpian lama ke warung-warung terdekat. Dan ternyata pemberian saya disambut dengan senyum manis Ibu pemilik warung makan dekat kos. Menyenangkan sekali dapat berbagi dan membantu orang lain. Mungkin inilah rasanya menjadi duta lingkungan, walau peran saya belum besar. Ternyata, menjadi seorang ambassador hanya membutuhkan suatu langkah kecil. Mudah-mudahan saya dapat berperan lebih besar. Dengan begitu, mungkin Ibu-Ibu pemilik warung-warung makan lainnya akan tersenyum lebar nan anggun ketika merima kertas-kertas bekas hasil pengumpulan teman-teman satu kos saya besok. Semoga :)
[caption id="attachment_135906" align="alignleft" width="225" caption="Senyum manis Ibu pemilik warung makan dekat kos. (Sumber: Dokumentasi pribadi 2010)"][/caption] Referensi:Â http://www.suaramedia.com/ekonomi-bisnis/usaha-kecil-dan-menengah/19403-limbah-terlalu-manis-untuk-dibuang.html Alamat blog: http://juztiwi.blogspot.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H