Mohon tunggu...
Juwita Ayunda Prameswari
Juwita Ayunda Prameswari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belajar di Sosiologi Universitas Brawijaya

~.~

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Inklusi Sosial dalam Pendidikan: Tantangan dan Upaya Pemerataan Akses di Daerah Terpencil

20 Juni 2024   15:20 Diperbarui: 20 Juni 2024   15:21 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber : http://data.go.id/dataset/fasilitas-pendidikan)

Setiap warga negara, sejatinya berhak untuk memperoleh hak pendidikan yang sama. Hal tersebut secara jelas tertuang pada beberapa pasal perundang-undangan salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal  11 ayat (1) yang berbunyi "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi." Ayat tersebut dengan gamblang menyatakan bahwa Negara Indonesia mendorong adanya inklusi sosial dan juga keadilan untuk memperoleh pendidikan yang setara bagi semua pihak. Meskipun demikian, kesenjangan akses pendidikan masih menjadi masalah yang harus diatasi, terutama bagi masyarakat kurang mampu, penyandang disabilitas, dan kelompok-kelompok marginal lainnya. 

Tentunya, untuk mencapai kesetaraan akses pendidikan bagi seluruh masyarakat bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan. Berdasarkan paparan permasalahan kesenjangan akses pendidikan, dapat diketahui bahwa cita-cita inklusi sosial lebih sulit diwujudkan. Dikutip dari publikasi world bank (2013), inklusi sosial adalah proses peningkatan kesempatan bagi mereka yang kurang beruntung agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan komunitas, dengan mendapatkan akses terhadap layanan dan dukungan dalam mengembangkan potensi diri secara penuh. Apabila akses terhadap pendidikan yang layak hanya didapatkan oleh masyarakat kelas atas, maka inklusi sosial belum akan terwujud. 

Salah satu contoh nyata yang diamati oleh penulis terkait dengan belum tercapainya fasilitas pendidikan yang setara yaitu sulitnya akses menuju sekolah yang terjadi di pedalaman Kabupaten Blora, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di gugusan Pegunungan Kapur. Jarak yang harus ditempuh oleh pelajar yang ingin pergi ke sekolah berkisar belasan hingga puluhan kilometer, dengan kondisi jalan yang terjal dan curam. Jarak jauh tersebut dikarenakan sekolah mulai SD-SMA hanya ada di kota saja, belum ada sekolah yang dibangun di dekat pemukiman masyarakat yang tinggal di Pegunungan Kapur. Akibatnya, hanya  masyarakat golongan atas saja yang mampu mengakses pendidikan. 

Pernyataan tentang fasilitas pendidikan yang tidak merata juga diamini oleh beberapa data terkait. 

Gambar 1 Perbandingan Pembangunan Fasilitas Pendidikan

Berdasarkan gambar tersebut, tertera grafik yang menunjukkan bahwa pembangunan fasilitas pendidikan tingkat SD sangat tinggi berkisar 140.000-150.000, disusul oleh SMP, dan kemudian SMA. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha pemerintah untuk menyetarakan fasilitas pendidikan belum sepenuhnya maksimal. Meskipun investasi pada tingkat pendidikan dasar seperti SD mendapat prioritas, namun pemerataan fasilitas pada jenjang menengah dan atas masih tertinggal. Kesenjangan ini dapat menyebabkan ketimpangan akses dan kualitas pendidikan antara daerah atau kelompok masyarakat tertentu. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengalokasikan sumber daya yang lebih merata dan memastikan bahwa setiap daerah memiliki infrastruktur pendidikan yang memadai di semua jenjang, sehingga setiap siswa mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengenyam pendidikan berkualitas.

Kembali kepada contoh akses pendidikan yang belum merata bagi semua pihak, dampak dari hal tersebut beragam dan dapat menjalar ke beberapa permasalahan lain. Jarak sekolah yang jauh dan sulitnya akses untuk menuju ke sekolah bagi masyarakat yang tinggal di Pegunungan Kapur menjadikan banyak pelajar yang putus sekolah. Banyak masyarakatnya yang hanya lulusan SD saja, dan mereka menumbuhkan pemikiran bahwa pendidikan tinggi bukan hal yang penting. Biasanya setelah lulus SD, mayoritas masih melanjutkan ke jenjang SMP, setelahnya para perempuan disuruh untuk menikah oleh orangtua mereka karena telah dianggap cukup dewasa untuk berumah tangga. Akibatnya, angka pernikahan dini tercatat cukup banyak terjadi di Kabupaten Blora. 

Pernikahan dini telah menjadi permasalahan baru sebagai akibat dari fasilitas pendidikan yang sulit dijangkau beberapa masyarakat. Dilansir dari Jawa Pos, tercatat per bulan Januari-Februari 2024 tercatat ada 61 kasus pernikahan dini, untuk tahun 2023 terdapat 409 kasus, dam disusul 531 dan 619 kasus pada tahun 2022 dan 2021. Angka tersebut jelas cukup besar karena menikah pada umur 13-16 tahun dianggap lazim oleh masyarakat setempat. Fenomena pernikahan dini ini mengkhawatirkan karena dapat menghambat perkembangan dan masa depan anak-anak yang menikah di usia dini. Mereka berpotensi rentan mengalami komplikasi kesehatan akibat kehamilan dini, serta terbatas dalam mengakses peluang pendidikan dan pekerjaan yang layak. Oleh karena itu, diperlukan upaya komprehensif untuk mengatasi akar permasalahan, seperti meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya pernikahan dini, serta memperkuat penegakan hukum dan kebijakan terkait usia minimum menikah.

Sebelum menggalakkan aturan hukum dan kebijakan terkait pernikahan dini, penting untuk mensosialisasikan terhadap masyarakat pentingnya pendidikan. Mengubah persepsi dan budaya yang memandang pernikahan dini sebagai hal yang lumrah merupakan tantangan besar. Melalui kampanye edukasi yang intensif dan melibatkan tokoh masyarakat serta pemangku kepentingan setempat, diharapkan masyarakat dapat memahami dampak buruk pernikahan dini dan mendorong anak-anak untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi masa depan anak perlu ditanamkan sejak dini agar mereka terbebas dari ancaman putus sekolah dan memiliki peluang yang lebih baik dalam mencapai potensi maksimal mereka.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa mendapatkan pendidikan yang layak adalah hak seluruh warga negara. Namun, perwujudan hal tersebut masih memiliki hambatan, fasilitas sekolah yang tak merata juga menjadi masalah utama yang dihadapi beberapa masyarakat daerah terpencil. Akibatnya, muncul permasalahan lain seperti pernikahan dini hingga sulitnya mendapatkan pekerjaan layak. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengupayakan pemerataan fasilitas pendidikan secara menyeluruh, terutama di daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Pembangunan infrastruktur sekolah yang memadai, penyediaan tenaga pengajar berkualitas, serta akses terhadap sumber belajar yang lengkap harus menjadi prioritas. Selain itu, diperlukan kerjasama dengan masyarakat setempat untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan dan menghapus tradisi serta persepsi yang menghambat anak-anak untuk mendapatkan hak pendidikan mereka. Dengan pemenuhan hak pendidikan yang setara, generasi muda di seluruh pelosok negeri akan memiliki bekal yang cukup untuk mewujudkan masa depan yang lebih cerah dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun