Beberapa hari terakhir aku baru menyadari, bahwa ternyata aku akan mencengkramkan jari-jari kaki ku ketika menahan marah. Saat itu aku sedang dalam perjalanan menuju ke salah satu Bank yang ada di kota ku dengan menggunakan angkutan kota atau biasa kami sebut angkot. Di tengah perjalanan ada sebuah kejadian (tidak akan diceritakan secara detil dengan berbagai pertimbangan) yang membuatku merasa muak, sedih dan tentu saja marah. Di dalam angkot tersebut hanya ada sopir, aku dan seorang ibu dengan keranjang belanjaannya. Sebenarnya tak ada tindakan berarti yang aku lakukan. Hanya saja ketika turun dari angkot tersebut aku nyaris jatuh,  Kakiku berkeringat. Aku memakai high heels dengan  jenis bahan yang akan menjadi sangat licin jika terkena zat cair (sangat tidak di anjurkan bagi yang memiliki keseimbangan tubuh sangat buruk, seperti ku).
Aku kembali teringat dengan peristiwa sebelumnya. Dan aku adalah tipe orang yang sangat sulit untuk melupakan kejadian-kejadian buruk yang aku alami meskipun aku sangat jarang memperlihatkannya pada orang lain. Sejak kecil Aku terbiasa untuk diam ketika merasa tidak sependapat dengan orang lain, aku akan bergumul dengan pikiran ku sendiri bahwa tak ada gunanya berdebat. Aku juga terbiasa untuk tidak mengungkapkan kemarahan dengan kata-kata. Karena aku adalah pengagum seorang laki-laki yang begitu sederhana lisannya.
Seperti ungkapan klise yang sering kita dengar "Nobodys perfect", begitupun dengannya. Laki-laki itu mungkin masih terlampau jauh untuk mejadi sempurna. Banyak kekurangan yang tak jarang juga membuat ku jengah, namun dialah laki-laki pertama yang ku kenal sejak aku membuka mata, belajar bicara, belajar berdiri hingga aku sanggup berlari.
Belasan tahun aku hidup bersamanya, menikmati sisa kopi miliknya disetiap pagi. Aku selalu menanti kepulangannya menjelang magrib diteras rumah. Menghabiskan separuh malam dengan menonton film-film aksi favorit kami di televisi dan tentu saja kami hanya menonton, dengan diam. Dan jika aku tertidur di depan tv, ia tak akan berusaha untuk membangunkanku. Ia hanya menggendongku ke kamar dan memindahkanku ke kasur yang empuk tanpa kata.
Tak banyak kata-kata yang ku ingat darinya. Tak Seperti laki-laki lain yang terbiasa melafalkan kalimat-kalimat panjang dalam setiap kesempatan, ia bicara dengan diamnya. Tak satu pun kata makian yang pernah aku dengar keluar dari bibirnya yang membiru karena bertahun-tahun menghisap racun nikotin. Laki-laki itu terlalu tenang, namun takkan mudah untuk membaca setiap jengkal alur cerita yang ia simpan sendiri.
Beberapa kali aku melakukan kesalahan yang tak biasa. Aku sudah membayangkan bahwa aku akan mendapatkan ceramah panjang dengan beberapa kalimat-kalimat yang tak pernah dipelajari dipelajaran Bahasa Indonesia atau bahkan mungkin akan ditambah dengan sedikit kontak fisik. Namun bayangan itu terlalu biasa, ketika dihadapanku Ia hanya bertanya "Apa yang kamu mau?"...
Saat ini, saat jarak memisahkan kami, aku tau beberapa waktu yang lalu seseorang membuat laki-laki itu terluka. Tak banyak yang kudengar langsung darinya. Sebagian cerita kudengar dari orang lain. Luka itu Ia simpan sendiri, dalam diamnya.
Dialah laki-laki yang sejak aku mampu bicara hingga detik ini aku panggil 'Bapak'....
I Â love you so Muchhhhhh Dad, Moga Tuhan dengarkan Mimpi kita...^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H