"Jadi kami yang membuat opini itu, maka kami juga yang harus pergi ke sana untuk menyelesiakan ini, kami sudah membangun hubungan dengan Vanuatu, Solomon, dan PNG," ujarnya.
Dikatakan, pada 1 Desember 1961, masa itu dilahirkan sebuah bendera, lambang negara dan lagu Papua. Namun itu merupakan nilai-nilai esensi sebuah perjuangan.
"Itu merupakan nilai-nilai. itu sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Karena Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat, red) sudah disahkan oleh PBB dan inilah pedoman orang Papua, sebagai bangsa Indonesia," ucapnya.
"Jadi siapa pun yang menentang termasuk saya, oleh karena kekerasan orde baru, setelah melihat adanya perubahan. Kita harusnya menerima Pepera itu. Tapi kalau dilihat dari sisi iman, maka ini sudah menjadi kehendak Tuhan. Untuk kami bersama Indonesia," tegas Jhon Norotouw.
Pihaknya juga menyesalkan adanya seorang oknum mengaku sebagai pendeta. Namun, sering mengajak melakukan perlawanan kepada pemerintah atau menyatakan sikap merdeka.
"Dia bukan seorang pendeta. Pendeta itu kan umatnya semua golongan bukan satu suku," tegas Jhon Norotouw.
John juga meminta kepada pemerintah pusat dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengaudit dana Otsus Papua. Sudah 17 tahun berlangsung, Otsus masih belum menyasar warga hingga pelosok.
"Saya yang maju berteriak untuk audit Otsus. Biar bisa merapat, jangan pusat sudah percayakan dana yang melimpah, namun disalahgunakan oleh pejabat orang Papua sendiri. Maka harus diaudit," ujarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H